https://jateng.times.co.id/
Opini

Membangun Ketahanan Pangan dari Jawa Tengah

Rabu, 21 Mei 2025 - 10:30
Membangun Ketahanan Pangan dari Jawa Tengah Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.

TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Ketahanan pangan bukan sekadar persoalan kecukupan pasokan beras, melainkan pondasi kedaulatan nasional. Dalam konteks inilah visi pemerintah Indonesia menjadikan ketahanan pangan sebagai program strategis utama layak mendapatkan sorotan serius. 

Di tengah ancaman krisis pangan global, langkah Indonesia memperkuat ketahanan pangan harus dimulai dari titik-titik vital produksi pangan nasional. Jawa Tengah, dengan segala keunggulan historis dan geografisnya, merupakan salah satu lokus paling strategis untuk membumikan visi tersebut.

Krisis pangan tidak lagi berada di ranah wacana. Laporan FAO (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 730 juta orang di dunia mengalami kelaparan. Indonesia, meski belum tergolong dalam kategori rawan pangan ekstrem, tetap memiliki kerentanan yang nyata, mulai dari ketergantungan terhadap beras, perubahan iklim yang mengancam pola tanam, hingga struktur pertanian yang belum sepenuhnya tangguh menghadapi guncangan pasar maupun cuaca.

Di tengah dinamika tersebut, Presiden Prabowo mengusung pendekatan baru: food estate sebagai proyek nasional, penguatan koperasi petani, revitalisasi irigasi, dan distribusi pupuk yang lebih merata.

Namun agar strategi ini tidak hanya menjadi program di atas kertas, implementasi konkret di daerah harus menjadi fokus utama. Di sinilah Jawa Tengah memainkan peran vital.

Lumbung Pangan yang Tertidur

Jawa Tengah dikenal sebagai salah satu sentra produksi pangan nasional. Wilayah seperti Grobogan, Klaten, Sragen, hingga Cilacap adalah penghasil padi utama yang selama bertahun-tahun menopang ketahanan beras Indonesia. Namun, kontribusi besar ini tidak bebas dari tantangan struktural. 

Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan tren penurunan luas lahan baku sawah di Jawa Tengah sebesar 1,2 persen per tahun. Alih fungsi lahan, urbanisasi, dan fragmentasi kepemilikan lahan menggerus daya saing sektor pertanian.

Di sisi lain, petani di Jawa Tengah masih menghadapi persoalan klasik: ketergantungan pada pupuk subsidi, rendahnya adopsi teknologi pertanian presisi, serta harga jual hasil panen yang tidak selalu sebanding dengan ongkos produksi. Ironisnya, banyak generasi muda di pedesaan mulai menjauhi sektor pertanian karena dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi maupun sosial.

Jika situasi ini terus berlanjut, maka tidak hanya swasembada pangan yang terancam, tetapi juga keberlanjutan sistem pangan lokal. Ketahanan pangan nasional sejatinya dibangun dari ketahanan pangan di desa-desa, dan Jawa Tengah adalah jantung dari sistem ini.

Menyelaraskan Visi Nasional dan Potensi Daerah

Untuk memastikan program ketahanan pangan dari pemerintah Indonesia bisa membumi, sinergi antara pusat dan daerah menjadi keharusan. Jawa Tengah dapat menjadi pilot project penerapan sistem pangan terintegrasi berbasis wilayah. Beberapa langkah strategis dapat segera dilakukan.

Pertama, perlunya pemetaan ulang potensi pangan berbasis kawasan. Tidak semua daerah harus difokuskan pada padi. Beberapa kabupaten justru menunjukkan potensi besar untuk pengembangan jagung, kedelai, hortikultura, dan peternakan. Diversifikasi pangan harus menjadi kata kunci baru dalam strategi pangan nasional.

Kedua, penguatan kelembagaan ekonomi petani. Koperasi berbasis desa, kelompok tani yang modern, serta akses terhadap pembiayaan mikro berbasis hasil panen (misalnya skema resi gudang) dapat menjadi instrumen penting untuk meningkatkan daya tawar petani. Di sinilah pentingnya dukungan regulasi dan pendampingan langsung dari pemerintah daerah.

Ketiga, modernisasi pertanian harus ditekankan bukan hanya pada penggunaan traktor atau irigasi pompa, tetapi juga pada pemanfaatan data satelit, sistem prediksi cuaca, serta distribusi pupuk dan benih berbasis kebutuhan spasial. Teknologi digital seperti e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang lebih transparan bisa diperluas cakupannya di Jawa Tengah.

Keempat, membangun cadangan pangan lokal. Strategi lumbung pangan desa atau food bank berbasis komunitas yang didukung oleh BUMDes dapat mengurangi tekanan ketika terjadi fluktuasi harga atau gangguan distribusi nasional.

Pendekatan Rantai Nilai

Ketahanan pangan tidak berhenti di sawah. Pemerintah daerah perlu didorong untuk membangun rantai nilai pangan yang kuat mulai dari produksi, pascapanen, distribusi, hingga konsumsi. Kabupaten seperti Sragen dan Grobogan telah memulai inisiatif pengolahan beras berbasis UMKM dan digitalisasi pasar tani, namun skalanya masih kecil.

Pemanfaatan sistem logistik pangan regional yang efisien, seperti optimalisasi Pasar Induk Beras dan platform dagang petani, harus diintegrasikan ke dalam program ketahanan pangan. Hal ini sekaligus mendukung kestabilan harga pangan dan memperpendek rantai distribusi dari petani ke konsumen.

Dalam konteks ini, Jawa Tengah bisa menjadi model laboratorium kebijakan pangan nasional. Melalui kebijakan yang terintegrasi dan berbasis data, transformasi pangan bukan hanya mimpi, tetapi bisa menjadi realitas dalam lima tahun ke depan.

Membangun dari Bawah

Visi besar pemerintah Indonesia tentang kemandirian pangan adalah peluang untuk membenahi sistem pangan kita dari akar. Tapi program ini akan gagal jika hanya bersifat sentralistik atau proyek mercusuar semata.

Ketahanan pangan tidak bisa dibangun hanya dari Jakarta, melainkan harus dimulai dari desa, sawah, dan pasar rakyat. Dengan kata lain, ketahanan pangan harus dibangun dari bawah.

Jawa Tengah, dengan segala sumber daya alam, infrastruktur pertanian, dan semangat gotong royong warganya, adalah titik awal yang tepat untuk memulai babak baru ini. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di Jawa Tengah harus mengambil inisiatif lebih besar, tidak sekadar menunggu program pusat.

Saatnya merancang roadmap ketahanan pangan Jawa Tengah yang sinkron dengan visi nasional, tetapi berakar pada realitas lokal.

Kolaborasi multipihak antara pemerintah, perguruan tinggi, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi kunci. Program pemerintah bisa menjadi tulang punggung, tetapi otot dan nadinya harus dibentuk oleh inisiatif lokal yang konkret, berkelanjutan, dan berpihak pada petani.

Ketahanan pangan bukan hanya tentang bertahan dari krisis. Ini adalah soal martabat, kedaulatan, dan masa depan generasi mendatang. Jika Indonesia ingin benar-benar mandiri di bidang pangan, maka transformasinya harus dimulai dari wilayah yang sudah lama menjadi tiangnya: Jawa Tengah.

Menjadikan Jawa Tengah sebagai episentrum ketahanan pangan nasional bukan hanya logis secara geografis dan historis, tetapi juga strategis secara politik dan ekonomi. Dari situlah, lumbung pangan Indonesia bisa dibangun kembali, lebih kuat dan lebih tahan terhadap badai zaman.

***

*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.