TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Delapan puluh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah. Kemajuan pembangunan, demokratisasi, dan transformasi digital telah membawa berbagai peluang baru, namun juga menyisakan tantangan mendalam: ketimpangan sosial, krisis iklim, tantangan birokrasi, serta pentingnya memerkuat kepercayaan publik terhadap institusi politik.
Dalam konteks inilah, peran pemuda menjadi semakin strategis, bukan sekadar karena proporsi demografis mereka yang dominan, tetapi karena masa depan bangsa ini ditentukan oleh sejauh mana generasi mudanya mampu menjadi pelaku perubahan, bukan hanya penonton.
Ruang politik hari ini masih perlu membuka ruang aspirasi keseharian anak muda. Meskipun mereka menjadi pemilih mayoritas dalam pemilu, keterlibatan pemuda dalam proses politik substantif masih terbatas.
Banyak yang apatis, sebagian lainnya skeptis, dan tak sedikit yang terlibat hanya secara kosmetik. Ini menunjukkan bahwa pendekatan politik konvensional gagal menjawab kebutuhan zaman.
Oleh karena itu, perlu strategi baru yang lebih inklusif, adaptif, dan berakar pada realitas generasi muda saat ini. Strategi tersebut harus menempatkan politik bukan sebagai ruang kekuasaan semata, melainkan sebagai arena pengabdian, kreasi, dan keberlanjutan.
Tiga hal krusial perlu menjadi pijakan dalam mendorong keterlibatan politik pemuda Indonesia. Pertama, membangun politik yang berorientasi pada keberlanjutan. Politik tidak bisa lagi dipisahkan dari urgensi krisis lingkungan, ketahanan pangan, dan transisi energi.
Pemuda harus terlibat langsung dalam perumusan dan pengawalan kebijakan publik yang ramah lingkungan. Aktivisme lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan politik yang sah. Dalam hal ini, pendidikan politik yang mengintegrasikan kesadaran ekologis sangat penting.
Kedua, memperkuat komunitas sebagai basis demokrasi partisipatif. Politik yang bermakna tumbuh dari bawah, dari ruang-ruang interaksi sosial yang otentik. Ketika pemuda membangun komunitas entah itu melalui kegiatan seni, literasi, teknologi, atau ekonomi lokal mereka sebenarnya sedang merawat demokrasi dalam bentuk paling dasarnya. Komunitas adalah ruang di mana nilai, kepercayaan, dan solidaritas dibentuk.
Dalam konteks ini, pemuda berperan sebagai penghubung antara kebutuhan warga dengan pengambil kebijakan. Bukan sebagai elite baru, tetapi sebagai penggerak yang memahami persoalan dari dekat. Politik harus dibumikan kembali lewat pengorganisasian lokal, kerja lintas sektor, dan solidaritas antarwarga.
Ketiga, menjadikan ekonomi kreatif sebagai instrumen kedaulatan ekonomi dan transformasi sosial. Anak muda Indonesia telah membuktikan kapasitas luar biasa di sektor kreatif dari teknologi digital hingga budaya populer. Namun, potensi ini masih belum sepenuhnya dilihat sebagai kekuatan politik.
Padahal, ekonomi kreatif yang dikelola secara kolaboratif bisa menjadi ruang baru untuk membangun otonomi, memperkuat budaya lokal, dan menciptakan narasi tandingan atas dominasi pasar yang eksploitatif.
Kreativitas bukan hanya soal produk, tetapi juga strategi bertahan dan berdaya dalam sistem yang timpang. Ketika anak muda mengembangkan inisiatif sosial, bisnis berkelanjutan, atau media alternatif, mereka sedang menjalankan politik dalam bentuk yang berbeda politik yang tidak bergantung pada jabatan, tetapi pada dampak.
Ruang politik perlu mendorong munculnya leader-leader yang bergerak secara asyik, yang memberi ruang pemuda untuk terus berkarya dan berani bermimpi. Kita mengenal Gus Muhaimin Iskandar di level nasional, sebagai representasi politisi santri yang bergerak secara asyik dan sekaligus cerdas.
Kita juga mengenal beberapa Gus dan kelompok santri di Jawa Tengah yang punya jejaring bagus, yang bergerak untuk mengayomi, sekaligus berkomunikasi lintas pihak. Ini memberi ruang bagi generasi muda untuk bisa berpartipasi mengeksekusi ide-idenya.
Masa Depan Indonesia
Menatap satu abad Indonesia merdeka dua dekade dari sekarang, pemuda tidak boleh sekadar menjadi simbol “bonus demografi.” Mereka harus dilihat dan diperlakukan sebagai mitra strategis pembangunan bangsa.
Namun, ini hanya mungkin jika ada kemauan kolektif untuk membuka ruang partisipasi yang setara, mendemokratisasi akses terhadap pendidikan politik, serta mengakui bentuk-bentuk keterlibatan politik yang tak selalu formal atau institusional.
Negara perlu mendorong reformasi politik yang membuka jalan bagi regenerasi kepemimpinan muda, memperkuat literasi politik di kalangan remaja, dan menyediakan ekosistem pendukung bagi tumbuhnya inisiatif sosial-ekonomi yang digerakkan oleh anak muda.
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah momentum refleksi dan pembaruan. Kita tidak sedang kekurangan pemuda yang cerdas, kreatif, dan peduli. Yang kita butuhkan adalah ruang yang berkelanjutan agar mereka bisa tumbuh, berkontribusi, dan memimpin.
Politik harus kita kembalikan sebagai ruang harapan, bukan sekadar kontestasi kekuasaan. Sebab bagi generasi muda, mencintai bangsa tidak cukup hanya lewat simbol dan seruan, tetapi melalui kerja konkret di akar rumput, di ruang komunitas, dan di ranah kreativitas yang membebaskan. Inilah strategi politik masa depan: politik yang hidup, membumi, dan menghidupi.
Indonesia masa depan perlu diwarnai dengan pemuda yang bergerak lintas batas, serta berani mempin dan mengawal perubahan dari pemerintahan, dari kepemimpinan politik yang kreatif, cerdas, serta membumi. (*)
***
*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |