https://jateng.times.co.id/
Opini

Desa Terpinggirkan dari Kebijakan

Minggu, 07 September 2025 - 10:37
Desa Terpinggirkan dari Kebijakan Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen Pengajar di STMIK AMIKOM Surakarta dan Penulis Buku Tentang Masalah Pedesaan.

TIMES JATENG, SURAKARTA – Di balik hiruk-pikuk kebijakan pembangunan nasional, desa-desa di Indonesia sering kali hanya menjadi catatan kaki dalam perencanaan lingkungan hidup. Padahal, desa adalah ruang hidup bagi jutaan orang dan menjadi penjaga benteng terakhir ekosistem melalui kekayaan desa seperti hutan, sungai, sawah, dan tanah-tanah subur yang menopang ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati.

Namun dalam praktiknya, banyak kebijakan lingkungan tidak berpihak pada desa. Desa masih diremehkan para elit dengan berbagai kebijakan yang tidak bijak. 

Ketidakbijakan ini terlihat dalam berbagai bentuk mulai dari tumpang tindih perizinan lahan, proyek-proyek yang merusak ruang hidup warga desa, hingga kurangnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Desa kerap dijadikan objek pembangunan, bukan subjek yang punya hak untuk menentukan masa depan lingkungannya sendiri.

Banyak desa di Indonesia hari ini menghadapi tekanan dari proyek-proyek skala besar yang mengatasnamakan pembangunan dan investasi. Tanah-tanah pertanian produktif dialihfungsikan untuk tambang, industri, hingga kawasan pariwisata. 

Hutan-hutan desa digusur demi jalan tol atau bendungan. Pemerintah daerah dan pusat sering kali memberikan izin tanpa konsultasi dengan masyarakat desa, apalagi analisis dampak lingkungan yang benar-benar berpihak pada warga.

Kebijakan yang menyederhanakan perizinan seperti yang terjadi pasca disahkannya UU Cipta Kerja membuka ruang luas bagi korporasi untuk masuk ke wilayah desa. 

Sayangnya, hal ini sering disambut tanpa kesiapan desa dalam mengelola risiko lingkungan. Desa tidak punya kuasa menolak, tidak punya akses hukum yang kuat, dan sering kali tidak tahu-menahu bahwa tanah mereka telah berubah status.

Semua merupakan bentuk ketidakbijakan yang nyata adanya yakni ketika pembangunan didefinisikan sebagai proyek-proyek besar, dan keberlanjutan desa melalui lingkungan maupun sosial-budayanya dianggap bisa dikompensasi dengan ganti rugi yang tidak sepadan. Semua seolah bisa diukur dengan materi seperti barang komoditi jual beli.

Banyak orang melihat desa hanya sebagai wilayah pertanian atau kawasan yang belum “maju”. Padahal, desa memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang sangat kaya dalam mengelola lingkungan. 

Praktik-praktik seperti sistem irigasi tradisional, pelestarian hutan adat, hingga larangan-larangan lokal terhadap perusakan alam (kearifan ekologis) telah terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem.

Namun, kebijakan yang tidak bijak sering muncul dalam bentuk pengabaian terhadap kearifan local desa ini. Pemerintah jarang melibatkan warga desa dalam perumusan kebijakan lingkungan, seolah-olah mereka tidak cukup “berilmu”. Padahal, warga desa punya pengalaman yang lebih langsung dan konkret dalam menjaga hutan, sungai, dan tanah mereka.

Alih-alih memberdayakan, pemerintah sering datang dengan pendekatan top-down: membawa program siap pakai, mengganti pola tanam, atau mendirikan infrastruktur tanpa memahami ekologi lokal. Akibatnya, banyak program lingkungan justru gagal karena tidak nyambung dengan kebutuhan dan cara hidup masyarakat desa.

Salah satu ironi besar dari ketidakbijakan lingkungan di desa adalah adanya dampak negative yang justru dirasakan oleh mereka yang minim kontribusinya terhadap desa. 

Desa hanya dieksploitasi oknum-oknum yang tidak paham akan desa. Akibatnya desa harus menanggung dampaknya seperti perubahan iklim yang tidak pasti, kerusakan lingkungan, gagal panen, banjir, tanah longsor, hingga kekeringan.

Selain itu desa-desa di lereng gunung kehilangan sumber air karena hutan di atasnya telah digunduli, desa nelayan kehilangan hasil tangkapan karena pencemaran laut, petani sawah merugi karena air irigasi terkontaminasi limbah industri. 

Ini semua adalah buah dari ketidakbijakan dalam kebijakan yang hanya mementingkan egosektoral dengan mengatasnakan pembangunan.

Perlunya Kebijakan yang Bijak

Pembangunan desa dan perdesaan saat ini sejatinya sudah sangat jauh berkembang terlebih dengan adanya konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) melalui SDGs Desa. 

Inisiatif ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa pembangunan di tingkat desa berlangsung dengan prinsip berkelanjutan, inklusif, dan berpihak pada lingkungan serta masyarakat.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak kebijakan yang dijalankan di desa justru bertolak belakang dengan semangat SDGs Desa. Ketidakbijakan dalam kebijakan lingkungan desa masih menjadi masalah serius, terutama ketika pembangunan dilakukan secara serampangan, tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, dan tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengambil keputusan utama.

Banyak desa menghadapi tekanan dari proyek-proyek besar yang datang dengan dalih pembangunan dan investasi. Mulai dari pertambangan, perkebunan skala besar, pembangunan kawasan industri, hingga pengembangan pariwisata masif, semuanya sering masuk ke desa tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial.

Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan lingkungan yang benar-benar berbasis pada realitas desa. Ini bukan hanya soal “membawa bantuan” ke desa, tetapi memastikan bahwa desa punya hak menentukan arah pembangunan lingkungan mereka. 

Beberapa langkah konkret yang bisa diambil diantaranya: Pertama, pelibatan warga dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan melalui partisipasi Masyarakat desa secara penuh. 

Kedua, melalui penguatan kapasitas pemerintah desa dengan dibuatnya peraturan desa atau Kepala desa yang berpihak pada kepentingan warga serta lingkungan desa. 

Ketiga, tersedianya akses informasi seiring dengan adanya keterbukaan informasi publik di era perkembangan teknologi informasi. Keempat keterlibatan masyarakat adat dengan berbagai kearifan lokal yang ada sehingga tetap eksis, Dan yang terakhir melalui kolaborasi dan sinergi berbagai pihak seperti instansi lain, Lembaga Pendidikan tinggi maupun swasta dalam mengelola lingkungan desa.

Kebijakan lingkungan desa yang bijak tidak bisa dibuat di balik meja tanpa mendengar suara desa. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang setara, menjadikan desa sebagai mitra, bukan hanya penerima program. 

Kita perlu menempatkan warga desa bukan sebagai penghalang pembangunan, tetapi sebagai penjaga lingkungan yang paling tahu cara merawatnya.

Dalam mengelola desa hendaknya dibutuhkan kebijakan yang bijak melalui berbagai peraturan yang dikeluarkan. Hal ini diperlukan jika tidak ingin terjadi berbagai permasalahan dikemudian hari baik karena alam maupun warga desa.

Ketidakbijakan dalam mengambil kebijakan terhadap desa akan merugikan warga lokal dan secara pelan namun pasti mambunuh entitas lokal yang ada di desa-desa Nusantara. 

***

*) Oleh : Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen Pengajar di STMIK AMIKOM Surakarta dan Penulis Buku Tentang Masalah Pedesaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.