TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Kata-kata yang kita ucapkan sehari-hari, baik di media, kantor, atau sekadar obrolan warung kopi, punya kekuatan besar. Bisa membangun, bisa juga menghancurkan, terutama saat membahas kesehatan mental.
Sebagai mahasiswa komunikasi, saya melihat masalah kesehatan mental di Indonesia bukan cuma soal kurangnya layanan, tapi juga soal cara kita berkomunikasi.
Bagaimana kita membicarakan, memberitakan, dan memahami gangguan jiwa menentukan nasib jutaan orang yang hidup dalam bayang-bayang stigma. Inilah waktunya kita gunakan ilmu komunikasi untuk jembatani pemahaman, bukan perkuat prasangka.
Stigma terhadap kesehatan mental tidak muncul tiba-tiba. Ia dibentuk lewat kebiasaan komunikasi kita sehari-hari. Seperti diingatkan para ahli, pemahaman kita tentang ”kegilaan" atau "kelemahan" terbentuk lewat interaksi sosial.
Di Indonesia, hal ini sering terlihat lewat kata-kata kasar seperti "gila", "sinting", atau tuduhan "kurang iman". Kata-kata ini bukan sekadar umpatan, tapi alat yang melabeli dan mengucilkan.
Bahasa kita mencerminkan dan sekaligus membentuk sikap masyarakat. Dr. Bagus Takwin, psikolog UI (Seminar Nasional, 2023) mengatakan bahwa, Istilah menghina yang dipakai massif membuat penyintas malu pada diri sendiri.
Akibatnya, seperti data Komnas HAM (2021), "Lebih dari 65% penyintas gangguan mental memilih menyembunyikan kondisi mereka karena takut dikucilkan atau dipecat."
Media punya peran ganda yang krusial. Di satu sisi, bisa jadi alat edukasi yang kuat jika memberitakan dengan akurat dan manusiawi. Tapi di sisi lain, pemberitaan yang sembrono justru memperparah stigma.
Dalam Lokakarya tahun 2022, Ninik Rahayu selaku Ketua AJI Jakarta mengkritik bahwa pemberitaan kasus bunuh diri yang bersifat sensasional dan simplistik justru memperkuat stereotip negatif.
Ketika media menggambarkan penyintas sebagai "orang berbahaya" atau "korban pasif", bukan sebagai manusia yang berjuang, mereka menghilangkan cerita manusiawinya. Tayangan sinetron atau film yang menjadikan "orang gila" sebagai bahan lelucon juga turut meracuni pikiran publik.
Di dunia kerja dan kampus, masalah komunikasi juga nyata. Banyak perusahaan mengaku peduli "kesejahteraan karyawan", tapi kenyataannya, budaya kerja yang toksik dan beban berlebihan justru jadi sumber masalah mental.
Menurut sosiolog Dr. Risa Permanadeli dalam Kompas (2023), budaya diam menjadi hambatan utama karena karyawan khawatir dianggap lemah atau kehilangan pekerjaan jika mengungkapkan kondisi mentalnya.
Riset Perhimpunan Dokter Jiwa (2022) menemukan bahwa "Hampir 40% pekerja yang minta cuti kesehatan mental mengalami diskriminasi halus hingga ancaman PHK."
Di kampus, mahasiswa yang butuh bantuan sering ragu mendatangi layanan konseling karena takut dianggap "lemah" atau khawatir rahasianya bocor.
Dalam Konferensi Nasional tahun 2024, Prof. Diana Setiyawati dari Universitas Gadjah Mada menekankan pentingnya adanya perubahan pola pikir di seluruh lingkungan civitas akademika guna menciptakan suasana yang benar-benar suportif bagi kesehatan mental. Lalu, bagaimana komunikasi bisa jadi solusi?
Pertama, ubah bahasa yang kita pakai. Ganti istilah menghina seperti "orang gila" dengan "penyintas gangguan jiwa" atau "orang dengan pengalaman gangguan jiwa" yang lebih menghargai martabat mereka.
Kedua, ganti kampanye yang cuma kasih data dengan cerita nyata. Cerita langsung dari penyintas tentang perjuangan dan kekuatan mereka jauh lebih efektik bangun empati daripada sekadar fakta.
Ketiga, media wajib pakai pedoman pemberitaan yang etis. Hindari sensasi, gunakan bahasa akurat, jaga privasi, sertakan info layanan bantuan, dan libatkan suara penyintas dalam liputan.
Keempat, tempat kerja dan kampus harus ciptakan ruang aman untuk bicara. Sediakan saluran rahasia, latih pemimpin agar punya empati, dan jadikan isu kesehatan mental bagian dari budaya organisasi.
Seperti kata pepatah, "Pada hari yang tak terlalu cerah pun, kita perlu bercakap-cakap." Percakapan jujur dan empati tentang kesehatan mental adalah kebutuhan mendesak.
Kita, calon profesional komunikasi, punya tanggung jawab besar: berani lawan bahasa merendahkan, desak media lebih bertanggung jawab, dan dorong terciptanya ruang aman di semua lini masyarakat.
Memutus rantai stigma dimulai dari pilihan kata, cerita yang kita sebarkan, dan percakapan yang kita bangun. Seperti pesan Direktur WHO, "Tak ada kesehatan tanpa kesehatan mental." Dan tak ada kesehatan mental tanpa komunikasi yang sehat dan menghargai. (*)
***
*) Oleh : Fike Putri Muftia, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Peradaban.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |