TIMES JATENG, JAKARTA – Perseteruan antara Amerika Serikat dengan Uni Eropa semakin terbuka, setelah sejumlah pemimpin Eropa 'merapatkan barisan' berpihak pada kepemimpinan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy setelah Donald Trump menyebutnya seorang 'diktator'.
Tuduhan Trump yang tidak akurat itu memicu kritik dari sejumlah pemimpin Eropa termasuk Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer dan Kanselir Jerman, Olaf Scholz. Mereka membela legitimasi demokratis Zelenskyy.
Ukraina memang dijadwalkan menggelar pemilihan presiden pada bulan Maret atau April 2024, yang akan mengakhiri masa jabatan lima tahun pertama Zelenskyy.
Namun Pemungutan suara itu ditunda karena konstitusi negara tersebut tidak mengizinkan pemilihan umum dalam keadaan darurat militer, yang diumumkan pada tanggal 24 Februari 2022, hari ketika Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina.
Rusia berulang kali berusaha menggunakan penundaan tersebut dengan menyatakan, bahwa Zelenskyy sebagai pemimpin yang "tidak sah".
Donald Trump pun tampaknya ikut-ikut menggunakan dalih Rusia itu dengan menuduh Zelenskyy sebagai seorang diktator. Selain itu dengan tidak akurat, kepada wartawan saat berada di Florida, Trump mengklaim bahwa Zelenskyy menolak menyelenggarakan pemilu di Ukraina.
Tapi berkali-kali pula Ukraina telah menolak tudingan Rusia yang dinilai sebagai distorsi konstitusi itu.
Komentar Trump itu menuai kritik dari banyak pemimpin Eropa termasuk Kanselir Jerman Olaf Scholz yang mengunggah di X dengan menyatakan "sangat salah dan berbahaya untuk menyangkal legitimasi demokratis Presiden Zelenskyy."
"Fakta bahwa pemilihan umum reguler tidak bisa diadakan di tengah perang sejalan dengan persyaratan konstitusi Ukraina dan undang-undang pemilu. Tidak seorang pun boleh mengklaim sebaliknya," kata Scholz.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer juga membela Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy pada hari Rabu dengan menyebut bahwa Zelenskyy adalah pemimpin yang dipilih secara demokratis. "Sangat masuk akal untuk menunda pemilu selama masa perang seperti yang dilakukan Inggris selama Perang Dunia II," kata pihak Keir Starmer.
Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson juga mengatakan penggunaan kata diktator oleh Trump adalah "tidak tepat".
Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock menyebut komentar tersebut "tidak masuk akal."
"Jika Anda melihat dunia nyata, bukan sekadar mengirim tweet, maka anda tahu siapa di Eropa yang harus hidup dalam kondisi kediktatoran. Mereka adalah orang-orang di Rusia, orang-orang di Belarus," tegas Baerbock kepada lembaga penyiaran publik ZDF.
Pemimpin partai oposisi terbesar di Jerman dan calon terdepan dalam pemilu hari Minggu, Friedrich Merz juga mengatakan bahwa komentar Trump merupakan memutarbalikkan fakta, "pembalikan peran pelaku dan korban secara klasik."
"Sejujurnya, saya agak terkejut bahwa Donald Trump kini jelas-jelas menjadikan ini miliknya," kata Merz kepada penyiar ARD.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunggah di X bahwa "Ukraina harus selalu diikutsertakan dan hak-haknya harus dihormati" seraya ia menjabarkan tiga syarat yang ia gambarkan sebagai "upaya Prancis untuk perdamaian."
Tunda Konferensi Pers
Sementara itu delegasi AS membatalkan konferensi pers antara utusan Donald Trump bersama Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy. Utusan Khusus AS untuk Ukraina dan Rusia, Keith Kellogg dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy , Kamis (20/2/2025) mengadakan pertemuan di ibukota Ukraina, Kyiv.
Sedianya mereka akan mengadakan konferensi pers usai pertemuan itu. Namun dibatalkan, setelah Trump menyebut Zelenskyy sebagai "diktator" dan mengkritik kepemimpinannya.
Konferensi pers yang menampilkan utusan Presiden AS Donald Trump untuk Ukraina dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dibatalkan pada hari Kamis Menurut pejabat di Kyiv, pembatalan itu atas permintaan delegasi AS.
Zelenskyy dan pensiunan Jenderal AS Keith Kellogg, utusan khusus Trump untuk Ukraina dan Rusia itu seharusnya berbicara kepada pers setelah pertemuan mereka di ibu kota Ukraina.
Namun, acara tersebut telah dibatalkan, kata juru bicara presiden Ukraina Serhii Nikiforov. Delegasi AS belum memberikan komentar saat ini.
Perjalanan Kellogg ke Kyiv bertepatan dengan pertikaian terkini antara Donald Trump dan Volodymyr Zelenskyy di mana Trump menuding Zelenskyy sebagai seorang 'diktator', Hal itu menimbulkan keraguan lebih lanjut mengenai masa depan dukungan AS untuk Ukraina ditengah invasi Rusia yang sedang berlangsung di negara Eropa Timur tersebut. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Uni Eropa Rapatkan Barisan Bela Presiden Ukraina dari Tudingan Donald Trump
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |