TIMES JATENG, WONOSOBO – Tradisi menginang atau masyarakat Wonosobo biasa menyebutnya nginang, adalah salah satu warisan budaya yang dulu identik dengan kaum perempuan di Wonosobo. Aktivitas mengunyah ramuan tradisional dari sirih, kapur, pinang, gambir, dan tembakau ini dulunya menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian perempuan, khususnya di pedesaan.
Dalam budaya masyarakat Wonosobo, nginang bukan hanya sekadar kebiasaan mengunyah, tetapi juga mencerminkan identitas, kerahaman, serta simbol keanggunan dan status sosial perempuan zaman dahulu. Bahkan dalam acara-acara adat seperti lamaran, pernikahan, hingga kenduri, sirih selalu hadir sebagai bagian dari perlengkapan penting.
Namun kini, di tengah perubahan gaya hidup modern dan meningkatnya kesadaran kesehatan gigi, tradisi menginang semakin jarang dijumpai. Generasi muda perempuan di Wonosobo hampir tidak mengenal lagi cara meracik atau mengunyah sirih, bahkan menganggapnya sebagai kebiasaan kuno yang tidak relevan.
"Kalau dulu nenek saya hampir setiap hari nginang. Itu jadi semacam kebiasaan perempuan Jawa. Tapi sekarang, anak-anak muda sudah tidak tertarik lagi. Malu katanya, tidak kekinian," ujar Yatini, warga Desa Kuripan, Kecamatan Watumalang, Sabtu (3/5/2025).
Menurut kepercayaan masyarakat, nginang memiliki banyak manfaat tradisional, mulai dari menjaga kesehatan gusi dan mulut, hingga dipercaya sebagai cara untuk menghangatkan tubuh.
Berbagai bahan untuk menginang. (FOTO: jogjaholic.com)
Peneliti menemukan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa mengonsumsi sirih pinang mampu mengurangi terbentuknya karies dalam gigi, mengurangi pembengkakan dan demam, serta memperkuat gigi. Hal ini karena daun sirih dan biji pinang mengandung senyawa antibakteri, antidepresan, antifungal, antioksidan, antialergi, antidiabetes, dan antiparasit.
Namun menurut penelitian Hsiao pada tahun 2015 membuktikan bahwa meskipun menginang mampu mengurangi risiko karies, kalkulus yang ditinggalkan akibat menginang berpotensi mengotori dan menumpuk di gigi, sehingga risiko penyakit gusi dan gigi pun meningkat. Dampak negatif dari menginang dipengaruhi oleh semakin banyak bahan yang digunakan, semakin lama waktu menginang, dan seberapa sering seseorang menginang per hari. Maka perlu memperhatikan hal-hal tersebut meminimalisir dampak negatif dari menginang.
Beberapa komunitas budaya dan pemerhati tradisi lokal pun mulai mengangkat kembali narasi nginang dalam berbagai kegiatan kebudayaan, meskipun masih sebatas simbolis karena minimnya orang yang masih menginang. Mereka khawatir jika tidak ada langkah pelestarian, tradisi ini akan benar-benar hilang dalam satu generasi ke depan.
“Nginang adalah jejak identitas perempuan Jawa, khususnya di Wonosobo. Jika hilang, kita kehilangan satu simpul penting dari kebudayaan lokal yang kaya makna,” kata Retno Wulandari, pegiat budaya Kejajar, Sabtu, (3/5/2025).
Upaya dokumentasi dan revitalisasi tradisi nginang diharapkan bisa segera dilakukan, tidak hanya untuk menjaga keaslian budaya, tapi juga memperkenalkannya kembali sebagai bagian dari warisan yang patut dihargai, bukan dihindari. (*)
Pewarta | : Mutakim |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |