TIMES JATENG, MAGELANG – Siapa sangka, cobek tanah liat yang biasa digunakan untuk mengulek sambal, kini menjelma menjadi media seni yang unik di tangan anak-anak Mi Muhammadiyah Al Fikri, Kopen, Podosuko, Sawangan, Kabupaten Magelang.
Kegiatan melukis di atas cobek menjadi alternatif pembelajaran seni rupa yang tidak hanya kreatif, tetapi juga sarat nilai budaya lokal.
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka penguatan pendidikan berbasis kearifan lokal. Para siswa diajak untuk melukis di atas permukaan cobek tanah liat menggunakan cat air/cat lukis dan tinta warna yang ramah lingkungan.
Anak-anak Mi Muhammadiyah Al Fikri, Sawangan terlihat antusias mengikuti kegiatan melukis di atas cobek tanah liat. (FOTO: Hermanto/ TIMES Indonesia)
Hasilnya pun tergolong bagus. Beragam motif penuh warna, menghiasi permukaan cekung cobek yang biasanya hanya berada di dapur.
“Anak-anak sangat antusias. Mereka terlihat merasa tertantang karena permukaan cobek tidak rata seperti kertas. Tapi justru di situlah letak keunikannya,” terang Mahfud, pada TIMES Indonesia, Sabtu (8/11/2025).
Mahfud menambahkan bahwa sebelumnya ia memberikan edukasi kepada para peserta, jika dalam belajar melukis tidak ada yang salah.
"Melukis itu tidak ada yang salah, justru dengan melakukan yang kalian anggap salah itu, kalian bisa terus berimajinasi," terang Mahfud dihadapan 40 anak sebelum mereka memulai berkegiatan.
Dari Dapur ke Ruang Kelas
Cobek tanah liat dipilih karena mudah ditemukan, ramah lingkungan, dan memiliki nilai historis dalam budaya masyarakat.
Melalui kegiatan ini, anak-anak tidak hanya belajar teknik melukis, tetapi juga mengenal benda tradisional yang mulai jarang digunakan di rumah tangga modern.

“Ini bagian dari upaya kami mengenalkan budaya lokal sejak dini. Anak-anak jadi tahu bahwa seni bisa lahir dari benda-benda sederhana di sekitar mereka,” lanjut Mahfud, yang memang sudah lama bersinergi dengan dunia pendidikan.
Didukung Teori Pendidikan
Mahfud juga menjelaskan bahwa, kegiatan ini sejalan dengan beberapa teori pendidikan, seperti teori perkembangan estetika dari Viktor Lowenfeld.
"Teori itu menyebutkan bahwa anak usia SD berada dalam tahap simbolik (schematic stage), di mana mereka mulai menggambar dengan pola dan makna," jelasnya.
Selain itu, pendekatan ini juga mencerminkan teori belajar berbasis pengalaman, yang menekankan pentingnya pembelajaran melalui aktivitas langsung. Anak-anak tidak hanya mendengar atau melihat, tetapi juga menyentuh, mencipta, dan merefleksikan.
Lebih dari Sekadar Melukis
Melalui kegiatan melukis dengan media cobek, anak-anak diajak untuk menghargai benda-benda tradisional, mengurangi ketergantungan pada media sekali pakai, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap budaya sendiri.
“Melukis di atas cobek ini bukan hanya soal seni, tapi juga soal identitas,” tukas Mahfud.
Kepala Sekolah, Siti Nur Kasiyari, melalui guru yang mendampingi jalannya kegiatan, Dimas Hasan Fadhlurrohman mengungkapkan bahwa, antusiasme anak saat mengikuti kegiatan menjadikan dorongan internal anak menjadi lebih kreatif dalam berfikir dan berimajinasi, ketika melaksanakan pelajaran seni.
"Dengan adanya kegiatan ini, semoga bisa membantu memantik kreativitas anak, sehingga anak tidak buta terhadap sebuah karya seni, bahkan mampu mengembangkan lebih dalam lagi," ucapnya.
Sementara itu, Afifah, dari kelas 3 dan Tsani kelas 6, juga mengungkapkan keceriaannya setelah berhasil melukis di atas cobeknya. Ia merasa senang karena bisa bareng-bareng dengan teman yang lainnya untuk belajar bersama.
"Senang bisa bareng-bareng teman yang lainnya belajar melukis di atas cobek, susah tapi asyik," ucapnya kompak. (*)
| Pewarta | : Hermanto |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |