TIMES JATENG, KULON PROGO – Pesta demokrasi elektoral lima tahunan telah usai. Ingar bingar interaksi elit dengan akar rumput lambat laun menurun. Kecuali di 10 kabupaten/kota dan satu provinsi yang melakukan pemungutan suara ulang, pemimpin dan wakil rakyat hasil Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 tengah bekerja juga, berbagi jatah kue yang dapat digunakan untuk mengembalikan ongkos pesta.
Intensitas komunikasi antara elit dan akar rumput memang terbangun pada event pemilu atau pilkada. Di event itulah, estafet kepemimpinan (baik di tingkat nasional maupun lokal) yang diberi mandat mengurus pemerintahan akan ditentukan. Jadi, baik elit maupun rakyat punya kepentingan yang sama, yakni keberlanjutan negara yang akan dinakhodai oleh pemimpin hasil pemilu.
Namun, fenomena yang terjadi selama ini terlihat bahwa usai pemilu digelar. Rakyat (akar rumput) seakan kembali ke habitatnya: bertani, buruh pabrik, berdagang, nelayan, dan lain sebagainya –yang abai dan apatis dengan kerja-kerja pemimpin yang telah dipilih di event pemilu/pilkada. Jika ada suara akar rumput yang peduli kerja pemimpin, itu lebih terlihat pada suara-suara nitizen yang tidak melibatkan secara nyata suara akar rumput sebanyak event pemilu.
Padahal, seruan untuk berpartisipasi di pemilu (lets vote) tidak berhenti pada saat pemungutan suara. Ketika rakyat masuk bilik suara memberikan mandatnya kepada para pemimpin dan wakil rakyat, sejatinya itu bukanlah cek kosong meski sebagian pemilih telah menerima amplop dari maraknya praktik politik uang.
Setelah pemilu/pilkada rampung, rakyat masih berhak (bahkan harus) menyuarakan aspirasinya terkait kebijakan yang akan diambil pemimpin atau wakilnya di legislatif. Di sinilah substansi demokrasi: adanya keterlibatan atau partisipasi rakyat dalam pengelolaan negara.
Jadi, usai pemilu rakyat tidaklah pensiun! Seruan untuk menyuarakan aspirasi (lets voice) rakyat pada pemerintahan hasil pemilu/pilkada harus terus digaungkan. Mesti dipahami bahwa dalam kehidupan yang demokratis, lets voice tidak kalah krusialnya dibandingkan lets vote bagi keberlangsungan sebuah tata kelola pemerintahan. Pemilu atau lets vote baru merupakan fase pertama dimana rakyat dilibatkan untuk mengurus negara dan pemerintahan.
Jika rakyat, yang notabene pemilik hakiki kedaulatan negeri ini tidak terlibat aktif mengawal kinerja dan kebijakan yang diambil para elit hasil pemilu/pilkada, maka mandat yang diberikan kepada pemimpin dalam bentuk kuasa untuk mengelola negara, akan riskan disalahgunakan.
Ingat kata-kata Lord Acton: Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan absolut (absolute power) terjadi ketika antri kritik atau rakyat abai dan tidak melibatkan diri pada kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya.
Sebagai fase sebuah siklus demokrasi yang terus berputar, baik letss vote maupun lets voice memiliki titik krusial masing-masing. Jika titik krusial letss vote adalah bagaimana menjaga agar daulat rakyat tidak bisa dibeli saat berada di bilik suara.
Titik krusial lets voice terletak pada seberapa kuat masyarakat sipil merawat napas panjang untuk selalu menyuarakan aspirasinya terhadap kinerja dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin hasil pemilu/pilkada, baik di eksekutif maupun legislatif.
Terhadap dua lembaga yang nakhodanya dipilih langsung oleh rakyat tersebut, publik harus adil dan objektif manyampaikan aspirasi: mendukung jika memang kebijakan itu baik dan bermanfaat bagi rakyat, dan mengkritisi jika kebijakan itu tidak pro-rakyat.
Jika melihat konstelasi politik di tanah air saat ini, harapan besar ditujukan pada masyarakat sipil untuk tidak lelah menggelorakan lets voice, mengingat postur kekuasaan yang begitu gemuk: 470 dari 580 kursi di DPR tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus pendukung pemerintahan Prabowo.
Namun di sisi lain, tentu aspirasi masyarakat sipil tidak serta merta mendukung kekuatan yang tidak masuk dalam KIM plus. Di sinilah tantangan untuk menggelorakan lets voice: harus jeli dan jernih. Intinya sepanjang kebijakan pemerintah bermanfaat untuk rakyat banyak mesti didukung, jika sebaliknya wajib dikritisi.
***
*) Oleh : Marwanto, Pegiat Demokrasi Era Reformasi dan Ketua Bawaslu Kabupaten Kulon Progo 2023-2028.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |