https://jateng.times.co.id/
Opini

Pasar Kerja Tanpa Diskriminasi Usia

Sabtu, 31 Mei 2025 - 22:56
Pasar Kerja Tanpa Diskriminasi Usia Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.

TIMES JATENG, YOGYAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) baru-baru ini mengeluarkan surat edaran yang mendorong perusahaan-perusahaan untuk menghapus batas usia maksimal pencari kerja. Kebijakan ini hadir di tengah lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terjadi hingga Mei 2025. 

Selain itu, langkah ini menjadi upaya responsif terhadap diskriminasi sistemik yang telah lama membatasi akses kerja, terutama bagi kelompok usia matang. Langkah ini patut diapresiasi, sebab isu pembatasan usia dalam rekrutmen bukan persoalan kecil. 

Di Indonesia, batas maksimal umur pencari kerja umumnya berkisar antara 25 hingga 27 tahun. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang menerapkan batas maksimal di bawah 25 tahun. 

Praktik ini telah menghambat banyak orang yang sebenarnya masih memiliki kapasitas dan kemauan untuk bekerja, namun tersingkir hanya karena angka usia di KTP mereka.

Diskriminasi usia semacam ini juga menjadi penyumbang angka pengangguran. Penelitian Gema Ramadhanu Ridho Ing Pangestu (2024) menyebutkan bahwa pembatasan usia kerja secara langsung membatasi hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan layak sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Persyaratan usia yang kaku bahkan menihilkan peluang seseorang, seberapa pun besar bakat, pengalaman, dan kompetensi yang dimiliki.

Lebih dari itu, diskriminasi usia tidak hanya berdampak pada pencari kerja usia lanjut, tetapi juga menyasar kelompok lain yang rentan terpinggirkan dari pasar kerja. 

Misalnya, pekerja kontrak yang ingin mencari pekerjaan lebih stabil, perempuan yang sempat berhenti bekerja karena kehamilan atau kebutuhan rumah tangga, hingga mereka yang terdampak PHK dan ingin kembali bekerja. Ketika batas usia diberlakukan tanpa mempertimbangkan konteks, mereka semua kehilangan kesempatan untuk bangkit.

Tak hanya berdampak secara ekonomi, ketidakadilan ini juga memicu tekanan psikologis yang serius. Penelitian dari Universitas Esa Unggul menunjukkan bahwa pengangguran, terutama di kalangan lulusan perguruan tinggi, berisiko menimbulkan tekanan mental yang tinggi. 

Kompetisi yang ketat di dunia kerja serta tuntutan sosial untuk segera memperoleh pekerjaan sering kali membuat individu merasa tertekan, kehilangan rasa percaya diri, bahkan mengalami gangguan emosi yang cukup serius. Bila pencari kerja usia matang terus-menerus menghadapi penolakan semata karena umur, tekanan mental ini bisa semakin memburuk.

Dalam realitas hari ini, kelompok usia matang justru sering kali memiliki keunggulan tersendiri. Pengalaman panjang di dunia kerja membuat mereka memiliki kecakapan teknis, kemampuan manajerial, serta etos kerja yang konsisten. 

Mereka juga cenderung memiliki stabilitas emosional dan komitmen tinggi terhadap pekerjaan. Mengabaikan mereka hanya karena usia berarti menyia-nyiakan sumber daya manusia yang sebenarnya masih sangat potensial dan produktif.

Beberapa negara telah bergerak lebih maju dalam hal inklusivitas pasar kerja lintas usia. Jepang, misalnya, telah lama mengandalkan pekerja senior untuk menjaga produktivitas nasional di tengah populasi yang menua. Singapura secara aktif menjalankan program re-skilling dan upskilling bagi pekerja usia lanjut. 

Di Eropa, negara-negara seperti Jerman dan Belanda bahkan memberikan insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja usia 50 tahun ke atas. Negara-negara ini menyadari bahwa keberagaman usia bukan hanya isu moral, tetapi strategi ekonomi jangka panjang untuk menjawab tantangan demografi dan krisis produktivitas.

Tentu, implementasi kebijakan penghapusan batas usia tidak lepas dari tantangan. Salah satu yang kerap disebut adalah kesenjangan penguasaan teknologi digital antara generasi muda dan tua. Namun, tantangan ini bukan alasan untuk mendiskriminasi. 

Justru ini menjadi panggilan bagi pemerintah dan sektor swasta untuk menyediakan pelatihan adaptif dan pelatihan kerja berbasis teknologi yang terbuka bagi semua usia. Teknologi bisa dipelajari oleh siapa saja, asal diberikan ruang dan kesempatan yang adil.

Oleh karena itu, program pelatihan berbasis prinsip lifelong learning perlu diperluas. Pemerintah dan sektor swasta dapat bekerja sama untuk menyediakan kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan industri, sambil memfasilitasi akses pelatihan murah atau gratis bagi pekerja usia matang. 

Kebijakan tanpa batas usia juga harus dibarengi dengan perubahan cara pandang di lingkungan kerja. Dunia usaha perlu melihat karyawan bukan dari umur semata, tetapi dari kompetensi, etika kerja, dan kontribusinya. 

Perusahaan juga perlu menyadari bahwa keberagaman usia di tempat kerja bisa menciptakan lingkungan yang lebih kolaboratif, stabil, dan kaya perspektif. Interaksi antar generasi dalam satu tim kerja bisa menghasilkan sinergi yang bermanfaat bagi inovasi dan pertumbuhan bisnis.

Surat edaran Kemnaker yang mengimbau penghapusan batas usia kerja semestinya tidak berhenti pada tataran administratif. Kebijakan ini perlu dikawal dengan regulasi yang mengikat, sistem pemantauan yang transparan, serta kampanye perubahan persepsi di masyarakat dan dunia usaha. 

Pemerintah juga dapat melibatkan lembaga pendidikan, komunitas profesional, serta media untuk memperkuat narasi bahwa semua usia punya hak yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.

Lebih jauh lagi, reformasi pasar kerja harus dilakukan secara holistik. Selain soal usia, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, pelatihan tenaga kerja, serta jaminan perlindungan bagi semua kalangan, agar inklusivitas benar-benar menjadi praktik, bukan sekadar wacana. 

Dengan menghapus batas usia kerja, kita tidak hanya menyelamatkan individu dari pengangguran, tetapi juga mengangkat kembali martabat pekerja yang selama ini dipinggirkan oleh sistem. 

Inilah momentum bagi Indonesia untuk membangun pasar kerja yang adil, inklusif, dan benar-benar menjunjung tinggi asas kesetaraan. Sudah waktunya melihat usia bukan sebagai batas, tetapi sebagai bagian dari keragaman kekuatan bangsa. (*)

***

*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.