TIMES JATENG, YOGYAKARTA – Di era digitalisasi dengan dukungan teknologi informasi, sebagaimana adagium McLohan dalam The Gutenberg Galaxy (1962), menempatkan komunikasi lintas bahasa ‘desa global’ sebagai suatu keniscayaan.
Pemakaian bahasa telah menerobos dan melampaui batas-batas ruang penuturnya. Interaksi antar bahasa dalam masyarakat tidak lagi dapat dihindari.
Dampaknya, setiap anggota masyarakat pemakai bahasa tertentu (bahasa ibu) akhirnya juga dituntut untuk dapat menguasai dan menggunakan bahasa lain.
Jalan Terang Bahasa Indonesia
Situasi ini ternyata sangat menguntungkan bagi para pengajar bahasa Indonessia untuk penutur asing. Pada awalnya pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) ini hanya menjadi pelayanan bagi beberapa peserta didik yang berasal dari luar negeri yang ingin belajar bahasa Indonesia.
Saat ini pengajaran bahasa Indonesia mulai dilirik oleh warga negara lain, terutama mereka yang berada di zona asia-pasifik.
Bahasa Indonesia memiliki daya tarik yang besar bagi pembelajar dari berbagai negara karena beberapa faktor. Pertama, faktor budaya dan kuliner. Budaya dan kuliner di Indonesia yang sangat beragam menjadi aset destinasi wisata. Hal ini menyebabkan banyak wisatawan mancanegara secara perlahan tertarik untuk dapat mengenal dan menguasai bahasa Indonesia.
Kedua, kekuatan diplomasi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi salah satu aspek penting, di samping aspek sosial, dan ekonomi bagi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Hal ini memungkinkan bahasa Indonesia untuk memproyeksi bargaining position dalam kancah asia bahkan internasional.
Ketiga, bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang berintegrasi menjadi masyarakat ASEAN (Zulfikar, 2019).
Dengan posisi strategis demikian, tidak heran jika bahasa Indonesia memiliki peminat yang cukup besar untuk dipelajari dan dikuasai oleh para pembelajar.
Masalah Pengajaran BIPA
Akan tetapi, permasalahan kebahasaan Indonesia bukan tanpa tantangan dan kesulitaan. Hal ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya dari penutur asing, guru, dan juga strategi pengajaraan yang masih banyak menyisakan pekerjaan rumah. Kelemahan tersebut menimbulkan berbagai kesalahan dalam wilayah tutur asing dalam belajar menguasai Bahasa Indonesia.
Hal inilah yang mendasari adanya kesalahan berbahasa pada pembelajar. Sebagaimana catatan Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa (2011), dalam pandangan analisis kontrastif (anakon) dan analisis kesalahan berbahasa (anakes), terdapat dua penyebab utama munculnya berbagai kendala dalam memelajari bahasa sasaran, yaitu L1 dependent error dan L1 independent error.
Istilah pertama berhubungan dengan metode analisis kontrastif yang beranggapan bahwa kesalahan itu disebabkan oleh interferensi bahasa BI terhadap B2.
Istilah kedua, menurut M.P. Jain dikonstruksi dari pandangan bahwa kesalahan berbahasa tidak dilatarbelakangi oleh bahasa B1 melainkan beberapa faktor eksternal, yang meliputi (1) Strategi belajar, (2) Teknik pengajaran, (3) Usia kedwibahasaan, dan (4) Situasi sosiolinguistik siswa.
Interferensi merupakan bentuk transfer negatif yang bersifat mengacaukan karena perbedaan sistem bahasa) (Mantasiah & Yusri, 2020:72-74). Istilah interferensi (transfer negatif) kemudian diklasifikasikan memiliki dua komponen linguistik yang berbeda, yakni interferensi psikologis dan interferensi sosiolinguistik (Dulay dkk., 1982:98).
Interferensi psikologis berkaitan dengan adanya pengaruh kebiasaan lama hasil dari suatu pemerolehan yang berpengaruh terhadap keadaan atau kondisi kebahasaan yang sedang dipelajari; sedangkan interferensi sosiolinguistik mengarah kepada bentuk interaksi alih sandi dalam mempergunakan bahasa.
Interferensi ini jelas sangat mengganggu. Sebab dengan adanya perbedaan bahasa ibu dan bahasa kedua, dapat memberikan kesulitan yang signifikan bagi penutur asing.
Selain itu strategi belajar dan teknik pengajaran juga menjadi kendala dalam belajar bahasa asing. M.P. Jain mengatakan, bahwa dalam banyak situasi pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, kesulitan utama yang dialami adalah mereka tidak tunduk pada generalisasi yang mudah atau generalisasi berdasarkan keteraturan yang konsisten, sebab sistem bahasa kedua yang dipelajari menuntut kombinasi bertingkat.
Hal ini juga terjadi terhadap situasi pembelajar bahasa Indonesia, karena selain beberapa pola yang berbeda, tingkat kesulitan dalam mempelajari struktur dan ejaan memiliki kompleksitas yang cukup tinggi.
Tuntutan terhadap teknik pengajaran yang mumpuni dengan menerapkan pola belajar yang berlangsung melalui ‘pengalaman’ disertai praktik dalam bahasa kedua pembelajar dan adanya mekanisme sistem koreksi dari pengajar baik bahasa lisan maupun bahasa tulis (Tarigan & Tarigan, 2011:170-171), menjadi kendala utama dalam proses pengajaran.
Usia kedwibahasaan berkaitan dengan sejauh apa seseorang pemelajar telah menguasai bahasa kedua dalam kesehariannya. Mackey mengemukakan kedwibahasaan merupakan alternatif menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seorang individu (Tarigan & Tarigan, 2011:8).
Dalam konteks pembahasan ini, usia kedwibahasaan mengacu kepada seberapa lama seorang pembelajar telah berinteraksi atau menggunakan bahasa yang sedang dipelajari (Richards, 1974:190). Usia kedwibahasaan seseorang tentu saja sangat berpegaruh terhadap penerimaan seorang pembelajar dalam mekanisme learning a language at school.
Dengan kata lain, usia kedwibahasaan yang belum berlangsung lama turut menjadi penghambat terhadap penguasaan B1 pembelajar. Oleh karena itu, hal ini turut adil menjadi penyebab adanya kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh pembelajar bahasa Indonesia.
Terakhir, situasi sosiolinguistik pembelajar juga menjadi penghambat dalam upaya memelajari bahasa Indonesia. Kita tahu ahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat tipikal diglosia.
Bahasa daerah dapat diidentifikasi sebagai ragam rendah yang biasanya dipakai untuk berkomunikasi dalam lingkup masyarakat kecil atau komunal yang memiliki latar belakang bahasa daerah yang sama.
Sedangkan bahasa Indonesia, sebagai ragam tinggi, biasanya dipakai dalam sistem komunikasi formal dan dalam konteks tertentu seperti di sekolah, kampus, kantor, dan sebagainya.
Diglosia dalam konteks demikian berkaitan dengan situasi sosiolinguistik pembelajar. Jika seseorang hidup dalam masyarakat diglosia dan secara kebetulan bahasa yang dipergunakan sebagai ragam tinggi merupakan bahasa yang sedang dipelajari oleh pembelajar sebagai B2, maka hal ini akan menguntungkan bagi pembelajar tersebut.
Jika sebaliknya, tentu saja berakibat pada situasi sosiolinguistik pembelajar yang negatif. Alat komunikasi sehari-hari pembelajar yang menggunakan bahasa non-Indonesia, turut serta menghambat kemajuan B2 mereka.
Alhasil, porsentase pemakaian B2 (bahasa Indonesia) di dalam proses pembelajaran terlampau minim jika dihadapkan dengan penggunaan B1 (bahasa Ibu). Hal ini tentu saja menjadi salah satu penyebab mengapa kesalahan berbahasa mahasiswa Tiongkok terjadi secara masif.
Itulah beberapa hal penghambat dalam upaya pengajaran BIPA. Catatan tersebut diharapkan dapat memberikan stimulus bagi munculnya berbagai alternatif mengatasi kesenjangan dalam BIPA. (*)
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |