TIMES JATENG, YOGYAKARTA – Sepanjang tahun 2024, Indonesia mengalami 2.107 bencana yang menewaskan lebih dari 500 orang dan membuat jutaan lainnya kehilangan rumah, pekerjaan, dan rasa aman (BNPB, 2024). Namun di balik deretan angka itu, tersembunyi luka yang tak terlihat: trauma jiwa yang tak pernah mendapat pertolongan pertama. Kita sibuk mengevakuasi tubuh, tapi sering lupa menenangkan jiwa.
Ketika bencana datang, fokus pertama selalu pada logistik, makanan, dan tempat tinggal. Itu penting, tentu saja. Tapi di antara tenda-tenda pengungsian yang ramai, selalu ada jiwa yang diam anak yang kehilangan orang tuanya, ibu yang tak sanggup tidur karena mimpi buruk, atau bapak yang menatap kosong ke puing-puing rumahnya. Mereka tidak berdarah, tapi sedang berdarah di dalam.
WHO mencatat, 1 dari 5 penyintas bencana berisiko mengalami gangguan kesehatan mental. Tiga hari pertama pascabencana adalah masa paling kritis saat stres akut bisa berubah menjadi trauma kronis.
Namun di waktu paling menentukan itu, hampir tak ada dukungan psikologis yang tersedia. Kita mahir mengirim truk berisi mi instan, tapi gagap ketika berhadapan dengan jiwa yang membeku oleh kehilangan.
Kita sering berpikir, “Biar psikolog yang menangani.” Padahal para profesional tak akan datang dalam 24 jam pertama, bahkan mungkin tidak dalam tiga hari pertama. Maka, siapa yang menjaga mereka di hari-hari pertama itu?
Tema Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025, “Access to Services: Mental Health in Catastrophes and Emergencies”, seharusnya menggugah pertanyaan sederhana: apa arti akses?
Selama ini kita menafsirkannya secara teknis berapa jumlah psikolog yang tersedia, berapa tenda konseling yang didirikan. Padahal akses sejati dimulai dari sesuatu yang jauh lebih mendasar: apakah ada seseorang yang tahu cara hadir bagi jiwa yang terluka?
Kita punya tradisi gotong royong yang membanggakan, tapi belum pernah diajarkan bagaimana gotong royong untuk jiwa. Kita sigap membangun dapur umum, tapi canggung menenangkan orang yang menangis. Kita hadir secara fisik, tapi kerap absen secara emosional.
Di sinilah pentingnya Pertolongan Pertama Psikologis atau Psychological First Aid (PFA) sebuah pendekatan yang sederhana namun revolusioner. PFA bukan terapi, melainkan cara manusiawi untuk menemani manusia lain di tengah krisis. Prinsipnya hanya tiga: lihat, dengarkan, hubungkan.
Pertama, Lihat dengan kepekaan. Perhatikan siapa yang duduk sendiri di sudut tenda, siapa yang terlalu diam, siapa yang tampak kehilangan arah.
Kedua, Dengarkan dengan hati, bukan nasihat. Kadang seseorang tak butuh petuah “sabar”, hanya butuh ruang untuk menangis tanpa dihakimi.
Ketiga, Hubungkan. Bantu memenuhi kebutuhan dasar mereka: air, informasi keluarga, tempat berlindung, atau sekadar teman di malam yang panjang.
Penelitian membuktikan bahwa dukungan sosial awal setelah trauma adalah pelindung terkuat dari gangguan stres pascatrauma (PTSD). Dalam bahasa sederhana: seseorang bisa sembuh karena merasa tidak sendirian.
Kabar baiknya, PFA bisa dipelajari siapa saja. Kepala desa, guru, relawan, hingga ibu rumah tangga bisa dilatih dalam waktu singkat. Bahkan penyintas yang telah sedikit pulih bisa menolong penyintas lain. Orang yang paling efektif membantu bukan mereka yang datang dengan clipboard dan diagnosis, melainkan yang berbicara dengan empati dan memahami konteks lokal.
Bayangkan jika setiap desa rawan bencana memiliki lima orang yang paham dasar-dasar PFA. Bayangkan setiap relawan tak hanya membawa tenda dan obat, tapi juga kemampuan mendengar dengan hati. Maka setiap bencana bukan hanya menjadi ujian logistik, tapi juga ujian kemanusiaan.
Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 mengingatkan kita bahwa akses terhadap layanan jiwa tidak diukur dari jumlah tenaga profesional, tetapi dari seberapa banyak manusia yang tahu cara menolong manusia lain.
Di negeri yang hidup di atas garis patahan, keterampilan menolong jiwa harus menjadi bagian dari budaya tanggap darurat sama pentingnya dengan P3K fisik.
Karena ketika gempa meruntuhkan rumah, banjir menenggelamkan kenangan, atau api melahap kampung, yang paling dibutuhkan sebenarnya bukan hanya makanan atau obat, melainkan seseorang yang tahu cara memeluk jiwa yang hancur.
Menolong jiwa bukan tugas psikolog semata. Ia adalah panggilan kemanusiaan yang bisa dijalankan siapa saja. Sebab setiap orang punya potensi menjadi penolong bukan karena punya gelar, tapi karena punya hati yang mau hadir. Dan mungkin, di negeri yang sering luka ini, itulah bentuk gotong royong yang paling sejati. (*)
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |