https://jateng.times.co.id/
Opini

Strategi Filantropi untuk Kesejahteraan Berkelanjutan

Jumat, 12 September 2025 - 08:02
Strategi Filantropi untuk Kesejahteraan Berkelanjutan Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.

TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Indonesia secara konsisten menempati peringkat tertinggi dalam daftar negara paling dermawan versi CAF World Giving Index. Hal ini mencerminkan tingginya kepercayaan sosial dan kuatnya budaya tolong-menolong di tengah masyarakat.

Namun, tingginya kedermawanan tidak otomatis berbanding lurus dengan keberhasilan mengatasi persoalan struktural seperti kemiskinan, ketimpangan, atau keterbatasan akses pendidikan dan layanan kesehatan. 

Filantropi, agar berdampak lebih besar, harus melampaui pendekatan karitatif menuju strategi yang berorientasi pada perubahan sistemik dan keberlanjutan sosial.

Dalam beberapa tahun terakhir, filantropi di Indonesia mulai mengalami pergeseran paradigma. Menurut Indonesia Philanthropy Outlook 2024, sebanyak 89 persen program filantropi telah selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). 

Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa filantropi tidak sekadar soal memberi, tetapi juga tentang menata ulang relasi sosial dan ekonomi secara lebih adil. 

Potensi zakat nasional yang diperkirakan mencapai Rp327 triliun per tahun, sebagaimana dicatat dalam riset LPEM FEB UI, merupakan sumber daya sosial yang sangat besar bila dikelola secara strategis dan produktif. Namun, kunci utamanya bukan terletak pada besarnya dana, melainkan pada arah penggunaan dan efektivitas program.

Pengalaman Jawa Tengah menawarkan gambaran konkret bagaimana filantropi bisa diarahkan untuk menciptakan perubahan sosial yang terukur. Pemerintah provinsi bersama mitra filantropi, seperti Baznas, sektor swasta, dan komunitas sipil, menjalankan program percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem yang menjangkau lebih dari 690 ribu jiwa. 

Intervensinya bersifat multisektor: mulai dari bantuan perbaikan rumah, akses air bersih, hingga intervensi gizi. Dalam konteks ini, filantropi hadir bukan sebagai pelengkap belaka, melainkan bagian dari strategi pembangunan daerah yang dirancang bersama secara terintegrasi.

Demikian pula dalam upaya menurunkan angka stunting, beberapa lembaga filantropi menginisiasi program distribusi daging kurban dalam bentuk olahan (kornet dan rendang) ke daerah-daerah dengan prevalensi gizi buruk. Ini merupakan bentuk intervensi gizi berbasis budaya lokal yang bukan hanya menjawab kebutuhan darurat, tetapi juga mengedepankan keberlanjutan distribusi dan nilai tambah ekonomi. Jika filantropi bisa mengisi ruang yang tidak sepenuhnya dijangkau negara, maka dampak sosialnya bisa menjadi sangat strategis.

Namun demikian, tantangan besar tetap ada. Sebagian besar program filantropi masih terfragmentasi dan minim koordinasi antar-pelaku. Ketiadaan sistem data bersama menyebabkan program sering tumpang tindih, salah sasaran, atau tidak bisa dimonitor secara akurat oleh publik. 

Ironisnya, di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi digital, masih banyak lembaga filantropi yang belum menyediakan pelaporan dampak secara terbuka, baik kepada penerima manfaat maupun masyarakat luas.

Di sinilah pentingnya membangun strategi filantropi yang berpijak pada data, akuntabilitas, dan kolaborasi. Pertama-tama, diperlukan penguatan sistem data terpadu untuk keperluan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program. 

Pemerintah saat ini telah mengembangkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Nasional (DTSEN) yang dikomando Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Dr. H. Abdul Muhaimin Iskandar, yang memungkinkan lembaga nonpemerintah seperti pengelola zakat, donasi, atau CSR mengakses data penerima manfaat secara legal dan bertanggung jawab. 

Integrasi filantropi ke dalam sistem data ini harus didorong secara sistemik agar program yang dijalankan benar-benar menyasar kelompok yang paling membutuhkan.

Kedua, pendekatan filantropi produktif perlu dikembangkan lebih luas. Selama ini, mayoritas dana filantropi masih digunakan untuk kebutuhan konsumtif jangka pendek. 

Padahal, yang dibutuhkan adalah program yang dapat meningkatkan daya tahan ekonomi penerima manfaat, seperti pelatihan keterampilan, pemberian modal usaha mikro, akses ke pasar, dan penguatan koperasi komunitas. 

Di Jawa Tengah, pendekatan berbasis komunitas seperti ini telah mulai diterapkan di beberapa wilayah, meski masih bersifat sporadis. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam perancangan program, hasilnya lebih relevan dan berkelanjutan.

Ketiga, ekosistem filantropi yang sehat hanya bisa tumbuh dalam atmosfer transparansi dan akuntabilitas. Lembaga filantropi harus berani membuka kinerja programnya kepada publik, menyusun indikator dampak yang jelas, serta menjalin kemitraan dengan sektor akademik dan media untuk memantau efektivitas kebijakan. 

Pemerintah daerah juga perlu menyusun regulasi dan insentif yang mendorong pelaporan terbuka, tanpa memberatkan lembaga kecil atau komunitas akar rumput yang sedang tumbuh.

Di tingkat provinsi maupun nasional, sudah saatnya dibangun sebuah platform publik yang memuat peta program, target, capaian, dan sumber dana filantropi secara digital dan real-time. Dashboard seperti ini bukan hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga membuka peluang kolaborasi antar-lembaga dan meminimalkan duplikasi. Masyarakat pun berhak mengetahui ke mana aliran dana sosial mengalir dan apa dampaknya terhadap kehidupan nyata.

Filantropi tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus menjadi bagian dari ekosistem pembangunan yang melibatkan negara, pasar, dan masyarakat sipil secara setara. Semangat berbagi yang sudah tertanam dalam budaya kita harus disalurkan ke dalam sistem yang memungkinkan dampak jangka panjang.

Bukan hanya mengurangi kemiskinan hari ini, tetapi juga menciptakan ketahanan sosial bagi generasi yang akan datang. Kedermawanan harus dipandu oleh visi, dikawal oleh data, dan dibingkai oleh akuntabilitas.

Dalam konteks itu, Jawa Tengah bisa menjadi contoh penting bahwa filantropi bukan hanya soal belas kasih, tetapi juga soal keberanian membangun strategi sosial yang cerdas dan berjangka panjang. 

Kita mendapat contoh dari bagaimana Kiai Sahal Mahfudz mendorong fikih sosial serta filantropi yang memberdayakan. Ini teladan yang sangat baik, yang perlu diselaraskan dengan strategi, monitoring dan penguatan data berbasis teknologi.

Ketika sektor filantropi bekerja selaras dengan pemerintah dan masyarakat, kesejahteraan berkelanjutan bukan lagi utopia, melainkan tujuan yang sepenuhnya dapat dicapai.(*)

***

*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.