https://jateng.times.co.id/
Opini

Ketika Guru Kembali Menjadi Kambing Hitam Kebijakan TKA

Jumat, 27 Juni 2025 - 10:12
Ketika Guru Kembali Menjadi Kambing Hitam Kebijakan TKA Zaenab Ulfah Hasanah, Guru Bahasa Indonesia di SMPN 4 Kebumen.

TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berencana menerapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) untuk siswa jenjang SD, SMP, dan SMA. Tes ini bukan sekadar ujian hasil belajar, tetapi dimaksudkan sebagai alat untuk memetakan kompetensi akademik siswa. 

TKA merupakan evaluasi terhadap capaian akademik murid sesuai dengan kurikulum yang berlaku, dan tidak menentukan kelulusan. Kebijakan ini lahir dari evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik yang selama ini tidak terstandar. 

Penilaian oleh guru dinilai mengandung berbagai permasalahan, seperti adanya variasi standar penilaian antar guru dan sekolah, integritas yang dicederai oleh praktik pemberian nilai yang terlalu longgar, kualitas soal yang rendah, hingga rendahnya motivasi belajar siswa karena persepsi bahwa semua pasti naik kelas dan lulus.

Dalam beberapa pemaparan, TKA hadir sebagai upaya memperbaiki sistem yang dinilai kurang maksimal. Namun, seperti algoritma dalam aplikasi yang menyaring, menimbang, dan menilai berdasarkan data yang tampak, sistem ini menurut penulis menyederhanakan realitas pendidikan menjadi angka-angka. Yang paling terdampak justru mereka yang bekerja di lapangan, guru. 

Namun, alasan lahirnya kebijakan TKA ini, guru kembali menjadi pihak yang paling mudah diposisikan sebagai sumber masalah. Ketika muncul argumen bahwa nilai rapor siswa sulit dibandingkan, bahwa kualitas soal rendah, atau bahwa motivasi belajar menurun, yang menjadi sorotan adalah guru. 

Dalam hemat penulis, masalah-masalah tentang ketidaksesuaian standar, integritas yang diragukan, dan penilaian yang dianggap tidak andal semata-mata merupakan akibat dari kinerja guru.

Padahal, guru yang notabene bekerja di ruang kelas (di banyak daerah) penuh keterbatasan, menghadapi siswa dengan latar belakang sosial-ekonomi yang beragam, dan guru harus menunaikan tugas yang jauh lebih kompleks dari pada sekadar mengajar. Guru juga mendidik, membimbing, serta menjadi figur pendukung penting bagi perkembangan siswa. 

Dalam praktiknya, penilaian guru sering kali disesuaikan dengan kondisi nyata siswa, termasuk pertimbangan untuk menjaga semangat belajar dan mengikuti aturan yang berlaku di sekolah, seperti kebijakan bahwa semua siswa harus naik kelas. 

Penyesuaian nilai ini bukan dilakukan karena ketidakjujuran atau belas kasihan, melainkan sebagai konsekuensi dari sistem dan regulasi yang menuntut guru untuk menyesuaikan diri. Dalam konteks seperti ini, penilaian guru bukanlah cerminan penuh dari kemampuan siswa, melainkan hasil dari kompromi terhadap kebijakan yang ada.

Peningkatan kualitas pendidikan tidak bisa disederhanakan menjadi soal teknis semata. Pendidikan bukan sekadar data yang dapat dipetakan dengan algoritma atau grafik. Ia adalah ruang kehidupan, interaksi, dan dinamika yang tak selalu bisa dirumuskan dalam bentuk angka. 

Jika tes seperti TKA hanya dijadikan alat pembanding nilai rapor dan instrumen seleksi tanpa memahami konteks sosial, budaya, dan psikologis dalam ruang kelas, maka yang keliru bukan gurunya, tetapi sistem yang menyederhanakan persoalan yang kompleks.

Sistem pendidikan yang terlalu mengandalkan mekanisme pengukuran seragam justru berisiko mengabaikan keragaman kondisi sekolah, keterbatasan sumber daya, serta tantangan nyata yang dihadapi guru dan siswa. 

Ketika hasil tes digunakan untuk menilai keberhasilan pendidikan tanpa memperhitungkan proses yang melatarbelakanginya, maka kita sedang membangun logika yang timpang yang menuntut keadilan dari sistem yang belum sepenuhnya adil.

Karena itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dipahami sebagai tanggung jawab kolektif. Pemerintah perlu merancang sistem yang berpihak, inklusif, dan membuka ruang bagi guru untuk menilai secara profesional dan kontekstual. 

Sistem pendidikan harus memberi kepercayaan dan dukungan kepada guru, bukan sekadar mengawasi atau menilai dari jauh. Orang tua juga perlu diajak menjadi mitra sejajar yang memahami bahwa angka semata tidak mencerminkan seluruh proses belajar anak.

Tanpa perubahan sistem yang lebih realitas, upaya perbaikan mutu pendidikan berpotensi menjadi tekanan baru yang tidak adil, terutama bagi guru yang selama ini bekerja dalam keterbatasan. Tes seperti TKA mungkin memiliki nilai guna sebagai alat ukur, tetapi tidak seharusnya menjadi fondasi tunggal dalam menilai kualitas pendidikan. 

Pada akhirnya, sistem yang adil bukan hanya yang mampu mengukur, tetapi yang juga mampu memahami dan menghargai proses di balik angka.(*)

***

*) Oleh : Zaenab Ulfah Hasanah, Guru Bahasa Indonesia di SMPN 4 Kebumen.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.