TIMES JATENG, YOGYAKARTA – Perkembangan pesat e-commerce di Indonesia telah merevolusi lanskap perdagangan secara signifikan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memproyeksikan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia dapat mencapai USD 120 miliar pada 2025.
Pertumbuhan yang masif ini memberi kemudahan dan efisiensi yang sulit ditandingi. Namun, di balik peluang besar tersebut, pasar tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat justru menghadapi tekanan berat.
Perubahan ini melahirkan ketimpangan. Pedagang kecil di pasar tradisional kini berhadapan dengan dominasi perusahaan teknologi raksasa. Kenyataan pahit yang harus mereka hadapi adalah omzet yang terus menurun, karena konsumen lebih memilih platform digital dengan harga kompetitif, ragam produk yang luas, serta pengalaman berbelanja yang praktis.
Meski begitu, pasar tradisional memiliki nilai strategis yang tidak bisa dipisahkan dari denyut kehidupan masyarakat. Karena itu, diperlukan langkah kolektif, berupa kampanye kesadaran yang menyeluruh, dukungan kebijakan pemerintah, dan partisipasi aktif masyarakat, agar pasar tradisional tetap mampu bertahan sekaligus berkembang di era digital.
Penurunan omzet para pedagang tradisional sejatinya dipengaruhi kombinasi faktor eksternal dan internal. Dari luar, mereka harus bersaing dengan e-commerce yang menawarkan kenyamanan, harga lebih terjangkau, serta jaminan keamanan transaksi.
Konsumen modern pun cenderung menilai pasar tradisional tidak sepraktis platform digital. Bahkan, keresahan ini sudah dirasakan di daerah. Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, menegaskan bahwa geliat bisnis online menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan pasar tradisional di wilayahnya.
Dari sisi internal, pasar tradisional menghadapi hambatan yang tidak kalah serius. Keterbatasan anggaran pemerintah daerah membuat proses modernisasi berjalan lambat. Fasilitas dasar seperti area parkir, kebersihan, hingga penataan ruang seringkali kurang memadai. Masalah ini diperparah oleh manajemen pengelolaan pasar yang belum optimal, sehingga isu keamanan dan kenyamanan pengunjung kerap terabaikan.
Di luar persoalan struktural, tantangan juga muncul dari sisi kultural. Tidak semua pedagang bersedia menyesuaikan diri dengan perubahan. Kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai tradisi membuat sebagian dari mereka memandang modernisasi sebagai ancaman, bukan peluang. Perpaduan faktor-faktor inilah yang membuat pasar tradisional semakin terdesak dan seolah ditinggalkan oleh perkembangan zaman.
Padahal, jika ditelisik lebih dalam, pasar tradisional memiliki fungsi vital yang tidak tergantikan. Pasar ini menjadi ruang utama bagi petani dan produsen kecil untuk menyalurkan hasil panen secara langsung, sekaligus menopang kehidupan masyarakat marjinal yang belum terjangkau teknologi.
Di sisi lain, pasar tradisional menghadirkan pengalaman yang autentik. Tawar-menawar, sapaan ramah, hingga interaksi personal antara penjual dan pembeli adalah keunggulan yang tidak bisa ditiru oleh e-commerce. Produk yang dijajakan, seperti sayuran dan ikan segar, juga umumnya berasal langsung dari sumber, tanpa melewati rantai distribusi panjang.
Lebih jauh, pasar tradisional adalah simbol identitas budaya bangsa. Suasana riuh, aroma khas, serta dinamika sosial yang tercipta di dalamnya merupakan warisan yang perlu dilestarikan. Jika pasar tradisional hilang, maka sebagian dari jati diri masyarakat pun ikut memudar.
Menyadari hal ini, jelas bahwa pasar tradisional tidak dapat berjuang sendirian. Diperlukan strategi terpadu yang melibatkan pemerintah, pedagang, dan masyarakat. Pemerintah, misalnya, berperan sebagai fasilitator utama. Mantan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menyingkirkan e-commerce, melainkan menertibkannya dengan regulasi yang adil.
Langkah positif juga terlihat dari inisiatif Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dipimpin Airlangga Hartarto bersama Kementerian Koperasi dan UKM. Program digitalisasi yang menargetkan 1.000 pasar rakyat dan 1 juta UMKM mulai diwujudkan melalui pelatihan pedagang serta penggunaan teknologi pembayaran digital seperti QRIS.
Keberhasilan program-program ini sangat bergantung pada dukungan masyarakat. Kampanye kesadaran perlu digencarkan agar konsumen memahami bahwa berbelanja di pasar tradisional bukan hanya soal harga, melainkan bentuk dukungan terhadap tetangga, komunitas, dan budaya lokal.
Media sosial dapat dimanfaatkan untuk menampilkan kisah inspiratif para pedagang, sekaligus mempromosikan pesan bahwa pasar tradisional adalah ruang ekonomi sekaligus ruang sosial.
Masa depan perdagangan Indonesia tidak boleh dipandang sebagai pertentangan antara e-commerce dan pasar tradisional. Keduanya bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi. E-commerce menawarkan efisiensi, sementara pasar tradisional menjaga keberlanjutan ekonomi lokal dan nilai budaya.
Untuk mencapai keseimbangan ini, tidak cukup hanya mengandalkan teknologi. Dibutuhkan gerakan kolektif yang menghargai warisan budaya sekaligus merangkul modernisasi.
Dengan inisiatif pemerintah yang progresif dan kesadaran masyarakat yang meningkat, pasar tradisional tidak hanya bisa bertahan, melainkan juga bertransformasi menjadi jantung ekonomi rakyat yang berdenyut seiring kemajuan zaman.
***
*) Oleh: Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |