TIMES JATENG, SEMARANG – Di sudut-sudut desa sampai panggung hiburan rakyat, ada sebuah fenomena audio yang memiliki volume menggelegar, membuat tanah bergetar dan dada berdebar. Sound horeg namanya. Sebagian kalangan, sound horeg ini tidak lebih dari polusi suara, mengganggu pendengaran, atau sekadar ekspresi kampungan yang kurang estetik.
Namun rupanya, jika kita sejenak membuka prasangka dan mencoba menghayati lagi lebih dalam, adakah arti tersembunyi di balik dentuman bass yang menyebabkan telinga jadi tuli?
Ada hal yang menarik jika kita melihat fenomena tersebut dari kacamata tasawuf jalan spiritual Islam yang menekankan pada pengalaman batin, sound horeg bisa dilihat atau dibaca sebagai sebuah peristiwa atau potret kerinduan jiwa dari manusia (hamba) yang tidak mampu terucap.
Tentunya ini bukan merupakan usaha untuk mengislamisasi atau membenarkan sebuah budaya, melainkan sebuah usaha untuk memahami hikmah di balik fenomena sosial yang berjalan secara masif.
Tasawuf mengajarkan kepada kita, bahwa makna dari suatu perjalanan spiritual merupakan upaya untuk meleburkan diri (fana') dari kesombongan hati, kungkungan ego dan kesadaran duniawi, yang kemudian mampu merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Absolut.
Salah satu jalan yang sering digunakan kaum sufi untuk menempuh dan mampu mencapai kondisi ini (fana’) adalah melalui sama' mendengarkan, yang difokuskan mendengarkan musik atau nyanyian yang bisa membangkitkan suasana spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah atau konser musik spiritual.
Para darwis yang menari dengan cara berputar yang biasa ada di Turki adalah contoh paling populer. Mereka menggunakan musik dan gerakan repetitif untuk mencapai kondisi ekstase spiritual (wajd), disitulah kesadaran personal lenyap tanpa sisa, hanya menghadirkan rasa penyatuan dengan Ilahi.
Sekarang, coba kita lihat dari fenomena sound horeg. Apa yang dirasakan dari para penikmatnya? Ketika sound system dengan watt yang super besar dihidupkan, gelombang suara frekuensi rendah (bass) tidak hanya didengar oleh telinga, melainkan dirasakan pula ke seluruh tubuh.
Dinding bergetar, tanah bergoyang, dan organ dalam kita seperti dipijat paksa. Dalam kondisi yang ekstrem seperti ini, tentu saja pikiran rasional sangat sulit bekerja. Seseorang tidak mungkin bisa lagi berpikir secara jernih atau menganalisis melodi. Hanya ada sensasi fisik yang total dan tidak terbatas.
Pada titik inilah, terjadi kelenyapan atau fana' dalam versi yang profan dan inderawi. Ego sehari-hari yang sibuk dengan pikiran, status, dan citra diri, sesaat dibungkam bersama getaran maha dahsyat.
Individu menyatu pada kerumunan, dan merasakan getaran yang sama, semua "horeg" dalam ritme yang sama. Ini merupakan transendensi sekejap, sebuah pelarian dari beban kesadaran diri yang kadang melelahkan.
Menghadirkan Getaran dan Pencarian Ekstase
Dalam sebuah tradisi sufi, getaran (baik suara maupun gerakan) yang dihadirkan adalah kunci pembuka pintu spiritual. Dzikir berulang, secara lisan atau dalam hati (qalb), bertujuan untuk menggetarkan jiwa supaya bisa terjaga dari tidurnya.
Dalam sebuah karya terkenal Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bagaimana suara yang merdu dan indah bisa melunakkan hati dan menghidupkan kerinduan spiritual.
Fenomena sound horeg tanpa disadari sudah menyentuh aspek terdahulu. Para penikmatnya bisa jadi tidak sedang mencari Tuhan, melainkan sedang mencari sebuah pengalaman puncak (peak experience), sebuah ekstase yang mampu melepaskan kebosanan mereka atas kehidupan modern.
Getaran bass yang menggetarkan dada dapat diartikan sebagai usaha paksa untuk merasakan hal yang mendalam, sesuatu yang dapat mengguncang eksistensi sampai ke akar-akarnya. Ini adalah jeritan jiwa yang rindu untuk akan getaran, meski belum tentu getaran tersebut adalah getaran yang sebenarnya dibutuhkan.
Tokoh sufi lain, Jalaluddin Rumi pernah mengatakan bahwa, "Luka adalah tempat dimana cahaya memasukimu." Ini bisa jadi, hiruk pikuk dan gegap gempita sound horeg yang terjadi saat ini merupakan sebuah manifestasi dari "luka" spiritual yang dialami masyarakat modern.
Melihat dunia yang semakin individualistis, materialistis, dan sering terasa hampa, orang-orang menyelinap mencari pengalaman komunal secara ontentik dan kuat. Sound horeg rupanya mampu menawarkannya dengan bentuk yang masih begitu mentah.
Memaknai Kebenaran
Penulis tidak ada maksud untuk membenarkan bahwa sound horeg adalah bagian dari praktik tasawuf. Karena jelas beda. Tujuannya berbeda, niatnya berbeda, dan hasilnya pun berbeda.
Ekstase dalam sound horeg hanya bersifat sementara, inderawi, dan sering kali berhenti pada suatu kepuasan duniawi. Sementara ekstase sufi (wajd) memiliki tujuan dan makna untuk mengantarkan pada makrifat dan akhlak mulia.
Namun, bagian dari sebuah fenomena, sound horeg menjadi cermin besar bagi kita sebagai manusia. Ia (sound horeg) menunjukkan adanya sebuah hingar bingar budaya popular yang menyimpan akan rasa dahaga dari aktivitas spiritual secara laten.
Lahir sebuah kerinduan dari sosok manusia untuk melampaui batas dirinya, menginginkan hadirnya rasa dari sebuah pengalaman kolektif yang menyatukan, dan untuk mengguncang dari rutinitas yang mematikan jiwa.
Tasawuf mengajarkan kepada semuanya agar tidak mudah menghakimi apa yang terlihat di permukaan. Di balik sebuah viralnya fenomena, betapapun anehnya, bisa saja tersembunyi jejak-jejak kesucian atas kemanusiaan.
Kita mempunyai tugas bukan untuk mencela, melainkan mencoba memaknai, kemudian mengarahkan kerinduan pada sumber getaran sesungguhnya yang sejati, getaran cinta dari yang maha indah.
Bisa jadi, dentuman yang dihasilkan sound horeg merupakan panggilan agar manusia bisa lebih peka mendengarkan suara sunyi pada jiwa kita sendiri.
***
*) Oleh : Mamluatur Rahmah, Dosen FUD UIN Raden Mas Said Surakarta dan Mahasiswa Doktoral UIN Walisongo Semarang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |