TIMES JATENG, BOJONEGORO – Ikhlas adalah kata sederhana yang sering diucapkan, namun paling sulit diwujudkan. Ia tersembunyi di ruang terdalam hati manusia, tak bisa diukur dengan angka, tak bisa ditunjukkan dengan gestur. Namun, dari keikhlasanlah segala amal menemukan makna sejatinya.
Tanpa ikhlas, ibadah hanya menjadi rutinitas mekanis, amal sosial hanya menjadi pertunjukan moral, dan kebaikan kehilangan ruhnya. Ikhlas beramal adalah inti dari kesalehan, fondasi dari keimanan, dan cermin kedewasaan spiritual seseorang.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa setiap amal akan dinilai berdasarkan niatnya. Rasulullah SAW juga bersabda, “Innamal a’malu binniyat” sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya. Artinya, ukuran kesalehan seseorang bukanlah pada seberapa banyak ia berbuat, melainkan seberapa tulus ia melakukannya.
Orang yang shalat lima waktu tapi mengeluh setiap kali adzan berkumandang, berbeda nilainya dengan orang yang shalat karena cinta kepada Tuhannya. Orang yang bersedekah dengan niat pamer tidak akan pernah selevel dengan mereka yang memberi dengan sembunyi-sembunyi demi ridha Allah semata.
Ikhlas beramal tidak lahir begitu saja. Ia adalah hasil dari proses panjang penyucian hati. Dalam dunia yang penuh dengan sorotan, validasi, dan penghargaan, menjaga keikhlasan adalah perjuangan yang luar biasa.
Ketika seseorang menulis kebaikan di media sosial, membantu orang miskin, atau berbicara tentang moralitas publik, selalu ada godaan untuk dipuji. Namun pribadi yang sholeh mampu menahan diri dari godaan itu. Ia sadar bahwa penghargaan manusia hanyalah debu di hadapan nilai keabadian di sisi Tuhan.
Kesalehan sejati bukan diukur dari pakaian yang tampak religius, bukan pula dari seberapa fasih seseorang berbicara tentang surga dan neraka, melainkan dari seberapa dalam ia menundukkan egonya dalam berbuat baik.
Orang yang benar-benar ikhlas tidak sibuk menilai dirinya sebagai orang baik; justru ia selalu merasa belum cukup berbuat. Ia beramal tanpa hitung-hitungan, menolong tanpa pamrih, dan memberi tanpa mengharap balasan. Inilah karakter seorang abid (hamba sejati) yang menjadikan ketaatan bukan beban, tetapi kebutuhan jiwa.
Dalam konteks sosial, ikhlas beramal juga menjadi energi yang menjaga harmoni kehidupan. Bayangkan bila setiap pejabat, guru, pedagang, atau pekerja menjalankan tugasnya dengan keikhlasan. Tak ada korupsi, karena jabatan dilihat sebagai amanah.
Tak ada tipu-menipu, karena dagang dimaknai sebagai ibadah. Tak ada kemalasan, karena bekerja dianggap sebagai bentuk pengabdian kepada sesama. Masyarakat akan menjadi makmur bukan karena sistemnya sempurna, tetapi karena hati manusia di dalamnya bersih.
Namun, dunia hari ini cenderung menggeser makna ikhlas. Banyak amal baik yang kehilangan makna karena dibungkus dengan kepentingan pribadi.
Amal menjadi alat politik, ibadah menjadi simbol status, bahkan sedekah bisa dijadikan strategi pencitraan. Padahal, ketika keikhlasan digantikan ambisi, maka kebaikan berubah menjadi sandiwara. Kita bisa terlihat sholeh di mata manusia, tetapi kosong di hadapan Allah.
Ikhlas beramal bukan berarti menolak penghargaan atau menghindari apresiasi. Tidak. Islam tidak menafikan bentuk penghargaan duniawi. Namun, yang menjadi kuncinya adalah niat: apakah penghargaan itu menjadi tujuan utama, atau sekadar konsekuensi dari kerja baik yang dilakukan karena Allah.
Seorang pribadi sholeh memahami bahwa keberhasilan, kehormatan, bahkan kekayaan, hanyalah alat, bukan tujuan. Ia akan tetap rendah hati, karena tahu bahwa yang menilai amal bukan manusia, melainkan Tuhan yang Maha Mengetahui isi hati.
Pesantren-pesantren sering mengajarkan prinsip “ngaji urip” belajar hidup. Santri dilatih ikhlas dalam hal-hal kecil: menyapu halaman tanpa disuruh, membantu teman tanpa pamrih, mengaji tanpa menunggu pujian.
Dari kebiasaan kecil itu tumbuh karakter besar: kesalehan yang natural. Mereka tidak sedang mengejar status “orang baik”, tetapi sedang belajar menjadi manusia yang bermanfaat. Itulah akar dari konsep ikhlas beramal: menebar manfaat karena cinta, bukan karena pamrih.
Dalam sejarah Islam, para ulama besar menunjukkan contoh keikhlasan luar biasa. Imam Al-Ghazali menulis ribuan halaman tentang hakikat hati dan amal, bukan untuk dipuji, tapi untuk menyembuhkan umat. Imam Malik menolak hadiah dari penguasa agar ilmunya tidak ternodai.
Bahkan Rasulullah SAW sendiri hidup dengan penuh kesederhanaan, padahal beliau mampu hidup dalam kemewahan jika mau. Semua itu menunjukkan bahwa pribadi sholeh bukan diukur dari banyaknya harta, jabatan, atau pengikut, tapi dari seberapa teguh ia menjaga keikhlasan di tengah godaan dunia.
Menjadi pribadi sholeh tidak berarti menjauh dari dunia, tapi mampu hidup di tengahnya tanpa kehilangan arah. Orang yang ikhlas beramal justru aktif berbuat, menjadi penggerak kebaikan di masyarakat, namun hatinya tetap tertambat pada Tuhan.
Ia tidak merasa paling benar, tidak membanding-bandingkan amal, tidak pula menuduh orang lain kurang saleh. Karena bagi mereka yang benar-benar ikhlas, kebaikan adalah urusan pribadi dengan Allah; sementara tugasnya hanyalah terus menebar manfaat tanpa batas.
Keikhlasan adalah keindahan batin yang tak bisa dibuat-buat. Ia memberi ketenangan yang tak bisa dibeli oleh dunia. Orang yang ikhlas tidak mudah kecewa ketika amalnya tidak dihargai, tidak marah ketika kebaikannya disalahpahami, karena ia tidak bertransaksi dengan manusia, melainkan dengan Tuhan.
Ketika seseorang sudah sampai pada derajat ini, maka sesungguhnya ia telah menemukan puncak kesalehan: hidupnya menjadi amal, dan amalnya menjadi cahaya bagi kehidupan orang lain.
Ikhlas beramal bukan sekadar ajaran moral, tetapi revolusi spiritual. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari pengakuan manusia, melainkan dari hati yang tenang karena dekat dengan Tuhan.
Di tengah dunia yang penuh pencitraan, keikhlasan adalah bentuk perlawanan paling luhur. Dan di tengah zaman yang sibuk mencari sorotan, pribadi sholeh adalah mereka yang tetap bekerja dalam diam, namun meninggalkan jejak kebaikan yang abadi.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |