TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Idul Adha menjadi momentum Istimewa untuk memperbaiki diri, juga sekaligus melakukan transformasi bagi pemerintahan kita. Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati Idul Adha sebagai puncak ibadah haji dan perayaan pengorbanan Nabi Ibrahim.
Momentum ini tidak hanya sakral dalam dimensi spiritual, tetapi juga kaya dengan simbol-simbol transformasi pribadi dan kolektif.
Di tengah kompleksitas tata kelola pemerintahan Indonesia, Idul Adha menawarkan refleksi mendalam: bagaimana pemerintahan kita bisa belajar dari nilai-nilai kesungguhan, ketertiban, dan pengorbanan yang terkandung dalam ritual haji?
Ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik ke Tanah Suci, tetapi juga perjalanan spiritual dan sosial. Jutaan manusia dari berbagai latar belakang berkumpul dalam satu titik, tunduk dalam kepatuhan yang sama, mengikuti prosedur yang ada. Tidak ada ruang untuk ego pribadi, jabatan, atau status sosial; semua menyatu dalam kesetaraan.
Ini mencerminkan gambaran ideal birokrasi: mengedepankan kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi. Dalam pelaksanaan ibadah haji, tidak ada toleransi terhadap penyimpangan prosedur.
Ketika jamaah diminta wukuf di Arafah, tidak boleh diganti waktunya. Ketika harus thawaf tujuh kali, tidak bisa dipersingkat. Inilah keteladanan tata kelola yang berbasis pada kepatuhan aturan dan kesadaran moral, bukan sekadar formalitas.
Jika birokrasi Indonesia ingin benar-benar berubah, maka nilai-nilai spiritual dan manajerial dalam ibadah haji perlu menjadi cermin.
Tiga Pilar Nilai Idul Adha bagi Pemerintahan
Pertama, nilai pengorbanan. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memberikan contoh pengorbanan tertinggi dalam menjalankan perintah Tuhan. Dalam konteks birokrasi, pengorbanan ini bisa dimaknai sebagai keberanian untuk meninggalkan zona nyaman, melepaskan privilese, dan mengorbankan kepentingan pribadi demi pelayanan publik yang lebih baik.
Aparatur pemerintah kita seharusnya mampu memaknai jabatannya bukan sebagai tempat berlindung dari risiko, tapi sebagai amanah yang menuntut keberanian mengambil keputusan yang kadang tidak populer.
Kedua, nilai keikhlasan (al-ikhlas). Setiap ibadah dalam haji dilakukan tanpa pamrih, dengan niat semata-mata karena Allah. Dalam konteks birokrasi, keikhlasan adalah pondasi integritas.
Ketika pelayanan dilakukan hanya untuk memenuhi indikator atau menghindari sanksi, bukan karena kesadaran etis dan moral, maka reformasi birokrasi akan berhenti pada permukaan. Keikhlasan membuat birokrasi hidup, bukan sekadar berjalan.
Ketiga, nilai kesetaraan dan disiplin kolektif. Jamaah haji mengenakan pakaian ihram yang sama, saling menunggu, mengikuti jadwal dan rute yang telah ditentukan.
Dalam birokrasi, ini berarti semua pegawai dari pimpinan hingga staf pelaksana-harus tunduk pada sistem yang sama. Tidak ada keistimewaan yang lahir dari jabatan atau kedekatan politik. Sistem meritokrasi, transparansi, dan disiplin kolektif menjadi bagian integral dari tata kelola yang sehat.
Transformasi birokrasi Indonesia telah memasuki fase penting, dengan berbagai regulasi yang ada. Namun, banyak tantangan masih menghadang. Budaya patronase, resistensi terhadap perubahan, hingga tumpang tindih kewenangan antarinstansi masih menjadi kenyataan sehari-hari.
Momentum Idul Adha tahun ini seharusnya dimanfaatkan sebagai ruang refleksi. Reformasi birokrasi tidak bisa sekadar berbasis regulasi dan kelembagaan. Ia harus ditopang oleh transformasi nilai.
Tanpa keberanian untuk mengorbankan ego sektoral, tanpa keikhlasan untuk melayani tanpa pamrih, dan tanpa disiplin dalam menjalankan peran masing-masing, maka birokrasi kita akan terus lambat, boros, dan tidak efektif.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya manusia. Yang kita butuhkan adalah komitmen bersama untuk membangun birokrasi sebagai alat pelayanan. Dan di sinilah nilai-nilai spiritual dari ibadah haji dan Idul Adha bisa memainkan peran besar: sebagai inspirasi untuk perubahan mendasar.
Transformasi Perspektif
Idul Adha adalah pengingat bahwa perubahan besar tidak datang dari instruksi formal, tetapi dari ketulusan dan pengorbanan. Sebagaimana Ibrahim dan Ismail mengajarkan bahwa iman membutuhkan tindakan, maka birokrasi juga membutuhkan pelayan-pelayan publik yang siap bekerja secara ikhlas, disiplin, dan penuh dedikasi.
Transformasi birokrasi bukan tentang menciptakan sistem yang sempurna, tetapi menciptakan budaya kerja yang konsisten dan bertanggung jawab. Idul Adha mengingatkan kita bahwa transformasi-baik spiritual maupun institusional, selalu menuntut harga: pengorbanan, kesabaran, dan keikhlasan.
Semoga semangat Idul Adha tahun ini membakar kembali tekad kita untuk menjadikan birokrasi Indonesia sebagai rumah pelayanan yang bermartabat, efisien, dan adil bagi seluruh rakyat. (*)
***
*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
__________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |