TIMES JATENG, SEMARANG – Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjelma menjadi ruang paling berpengaruh dalam membentuk opini publik. Setiap unggahan, baik teks maupun video, dapat dengan mudah viral dan membentuk persepsi massal hanya dalam hitungan jam.
Belum lama ini, publik dikejutkan oleh konten yang menyinggung marwah kiai dan lembaga pesantren simbol moral dan pendidikan Islam yang justru diproduksi oleh salah satu stasiun televisi nasional.
Potongan video yang beredar di TikTok, Instagram, Twitter, hingga YouTube itu berisi narasi yang menyudutkan kehidupan pesantren, dengan insinuasi bahwa kiai hidup mewah sementara santri hidup dalam keterbatasan. Kalimat seperti “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?” menggambarkan bias dan ketidakadilan narasi yang diangkat.
Konten tersebut bukan hanya menimbulkan kemarahan para santri dan alumni, tapi juga menurunkan citra pesantren sebagai lembaga penjaga nilai-nilai keislaman dan pendidikan moral bangsa.
Lebih dari sekadar persoalan etika jurnalistik, kasus ini membuka tabir penting: bagaimana prinsip marketing syariah semestinya diterapkan dalam dunia konten digital. Di tengah derasnya kompetisi media dan hasrat untuk mengejar popularitas, nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab moral sering kali tergadaikan demi sensasi dan algoritma.
Dalam perspektif marketing syariah sebagaimana dijelaskan oleh Hermawan Kertajaya dan Muhammad Syakir Sula aktivitas pemasaran harus dilandasi empat nilai utama: sidiq (jujur), adl (adil), khidmah (melayani dengan rendah hati), dan amanah (dapat dipercaya). Keempat nilai ini semestinya menjadi fondasi dalam setiap produksi konten, termasuk yang bersifat hiburan dan informasi publik.
Pertama, kejujuran (as-shidiq), menuntut agar setiap konten berbasis pada fakta, bukan asumsi atau manipulasi. Dalam konteks kasus viral tadi, penyebaran informasi yang tidak diverifikasi merupakan bentuk penipuan publik.
Al-Quran telah menegaskan dalam Surat Al-Hujurat ayat 6 agar setiap kabar dari sumber yang meragukan harus diteliti kebenarannya sebelum disebarkan. Di sini tampak jelas bahwa produksi konten yang mengandung fitnah bukan hanya pelanggaran etika profesi, tetapi juga bentuk penyimpangan dari nilai Islam itu sendiri.
Kedua, keadilan (al-adl). Prinsip ini menuntut agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam aktivitas pemasaran, termasuk dalam produksi konten media. Menyudutkan kiai dan pesantren secara sepihak berarti melakukan unfair competition dalam ranah komunikasi publik: meraih keuntungan berupa atensi, klik, atau popularitas dengan menjatuhkan pihak lain. Dampaknya tidak main-main kepercayaan publik terhadap lembaga pesantren bisa tergerus, padahal mereka selama ini menjadi benteng moral masyarakat.
Ketiga, melayani dengan rendah hati. Dalam pandangan Islam, seorang profesional di bidang apa pun sejatinya adalah pelayan masyarakat. Seorang content creator seharusnya menempatkan dirinya sebagai penyampai nilai, bukan provokator opini.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya: banyak kreator dan media memilih jalur sensasional, menampilkan kontroversi demi menarik perhatian audiens. Al-Qur’an menuntun agar seorang muslim bersikap lembut dan rendah hati, bahkan terhadap mereka yang menghina, sebagaimana disebut dalam Surat Al-Furqan ayat 63, bahwa hamba Tuhan berjalan di bumi dengan rendah hati dan menjawab penghinaan dengan salam.
Nilai keempat, amanah, adalah inti dari semua prinsip syariah. Seorang produsen konten harus sadar bahwa setiap kata, gambar, dan video yang ia unggah memiliki dampak sosial. Amanah berarti mampu mempertanggungjawabkan kebenaran informasi yang dibagikan serta siap mengoreksi kesalahan ketika terbukti keliru. Sayangnya, di era clickbait dan monetisasi digital, banyak kreator justru abai terhadap dampak sosial yang ditimbulkan dari konten yang mereka produksi.
Jika nilai-nilai marketing syariah ini dijalankan secara konsisten, seharusnya tidak akan ada konten yang menyerang marwah pesantren atau mendistorsi ajaran Islam. Dunia digital semestinya menjadi ruang untuk menyebarkan nilai-nilai maslahat, bukan menebar mafsadah (kerusakan sosial).
Sejatinya, marketing syariah bukan hanya soal menjual produk halal, melainkan juga tentang bagaimana menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam setiap komunikasi yang dilakukan.
Implikasi dari fenomena ini sangat luas. Ketika konten negatif dibiarkan beredar tanpa tanggung jawab moral, ia bukan hanya mencederai reputasi lembaga agama, tetapi juga menurunkan kualitas literasi digital masyarakat. Masyarakat menjadi mudah terpancing emosi, kehilangan kemampuan berpikir kritis, dan tanpa sadar menjadi agen penyebar hoaks.
Dalam konteks ini, penerapan prinsip marketing syariah menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya bagi pelaku bisnis, tetapi juga bagi seluruh pengguna media sosial.
Perusahaan media dan content creator harus mulai menanamkan nilai sidiq dan amanah dalam setiap tahapan produksi. Verifikasi fakta mesti menjadi kewajiban, bukan pilihan. Platform digital seperti YouTube dan Instagram pun dapat memperkuat kebijakan fact-checking untuk menekan laju disinformasi.
Sementara itu, lembaga pesantren dapat mengambil langkah proaktif dengan membangun narasi tandingan melalui strategi marketing syariah menghadirkan konten edukatif, inspiratif, dan penuh keteladanan dari kehidupan santri dan kiai.
Pemerintah dan para ulama juga memiliki peran penting dalam membangun ekosistem digital yang sehat. Edukasi etika bermedia perlu digalakkan, agar masyarakat memahami bahwa setiap unggahan adalah cerminan akhlak. Dunia digital tidak boleh menjadi tempat bebas nilai; ia justru menjadi ruang pengujian keimanan di tengah derasnya arus informasi.
Kasus viral yang menyerang pesantren seharusnya menjadi refleksi bersama bahwa konten bukan sekadar karya, melainkan amanah moral. Dalam dunia yang semakin terhubung, setiap kata bisa menjadi dakwah, setiap video bisa menjadi ibadah, atau sebaliknya menjadi fitnah yang menjerumuskan.
Maka, ketika konten menjadi ujian keimanan, hanya dengan berpegang pada etika marketing syariah, kita bisa menjaga agar ruang digital tetap menjadi ladang kebaikan, bukan arena kehancuran moral.
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |