TIMES JATENG, TEGAL – Setiap musim panen tiba, Karom selalu berdiri sejenak di bawah pohon-pohon cengkeh menjulang tinggi di lereng Desa Tembongwah, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Dari kebun inilah, dahulu, sosok Karom Karamulloh membesarkan anak-anaknya. Dari cengkeh, ia membangun rumah, menyekolahkan keluarga, dan menaruh harapan bahwa tanaman yang ia sebut sebagai “emas hijau” itu akan terus menghidupi generasi berikutnya.
Desa Tembongwah, yang berada di ujung wilayah Kecamatan Balapulang, sejak lama dikenal sebagai salah satu sentra penghasil cengkeh di Kabupaten Tegal.
Hamparan ribuan pohon cengkeh seakan menyambut siapa pun yang memasuki desa ini. Selama puluhan tahun, hampir seluruh denyut ekonomi warga bergantung pada tanaman tersebut.
Para petani di desa itu telah berjibaku dengan cengkeh lebih dari 40 tahun. Mereka pernah merasakan masa kejayaan, terutama pada periode 2006 hingga 2016.
Saat itu, harga cengkeh melambung tinggi. Sekali panen dalam setahun, para petani mampu mencukupi kebutuhan hidup dan hingga membangun rumah menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
“Waktu itu, cengkeh benar-benar jadi tumpuan hidup, seperti Emas” kenang Karom saat ditemui dikediamannya dengan suara parau.

Namun kejayaan itu kini tinggal cerita. Dalam beberapa tahun terakhir, nasib petani cengkeh di Desa Tembongwah kian terpuruk.
Harga cengkeh tidak stabil dan cenderung menurun. Sementara itu, biaya perawatan tanaman terus meningkat mulai dari pupuk tenaga kerja, hingga perawatan kebun yang tak lagi sebanding dengan hasil panen.
Masalah tak berhenti di situ. Usia tanaman menjadi persoalan besar. Banyak pohon cengkeh yang kini sudah tua dan tidak lagi produktif.
Untuk melakukan peremajaan dibutuhkan modal besar serta waktu bertahun-tahun sebelum kembali menghasilkan. Bagi petani kecil, hal itu bukan perkara mudah.
Perubahan cuaca, serangan hama, serta minimnya pendampingan dari pemerintah semakin memperparah keadaan. Program pembinaan, bantuan teknis, kebijakan yang berpihak pada petani cengkeh nyaris tak dirasakan lagi oleh warga.
Akibatnya, satu per satu petani mulai meninggalkan kebun cengkeh mereka. Sebagian beralih ke tanaman lain yang dianggap lebih cepat menghasilkan.
Tak sedikit pula yang membiarkan kebun cengkeh terbengkalai, kalah oleh usia dan ketidakpastian ekonomi.
“Dulu cengkeh ini menghidupi kami tetapi Sekarang justru banyak yang ditinggalkan,” ujar Karom dengan nada prihatin.
Sebagai petani senior sekaligus pelopor pembangunan Desa Tembongwah, Karom mengaku sedih melihat kondisi saat ini. Ia bahkan pernah menggagas pendirian BUMDes untuk menampung hasil bumi warga desa, termasuk cengkeh. Namun hingga kini, upaya tersebut belum mendapatkan dukungan yang memadai.
Padahal, menurut Karom, potensi cengkeh masih ada. Jika dikelola dengan baik dan mendapat dukungan serius, satu pohon cengkeh yang dipanen setahun sekali masih mampu menghasilkan hingga 5 kwintal cengkeh kering, dengan harga rata-rata Rp100 ribu per kilogram.
“Masalahnya bukan di tanamannya saja, tapi di perhatian dan pendampingannya,” tegasnya.
Kini, di tengah pohon-pohon cengkeh yang semakin tinggi dan menua, para petani Desa Tembongwah seakan menghadapi jalan buntu.
Mereka terjebak antara kenangan masa kejayaan dan realitas pahit masa kini. Tanpa peremajaan, tanpa kepastian harga, dan tanpa pendampingan, cengkeh yang dulu menjadi simbol kemakmuran perlahan kehilangan sinarnya.
Petani berharap pemerintah hadir dengan lebih nyata melalui kebijakan stabilisasi harga, bantuan peremajaan tanaman, serta pendampingan teknis berkelanjutan agar kejayaan cengkeh Desa Tembongwah tidak benar-benar hilang, dan “emas hijau” itu masih bisa menjadi penopang hidup generasi mendatang. (*)
| Pewarta | : Cahyo Nugroho |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |