TIMES JATENG, TEGAL – Slawi pada akhir November 2025 terasa sedikit berbeda. Di antara bising klakson, pedagang kaki lima, dan arus kendaraan yang tak pernah benar benar berhenti, kawasan Gedung Korpri justru menjadi pusat arus manusia yang bergerak ke satu titik, Pameran Wanara Seba 2025.
Di balik pintu gedung itu, lampu-lampu pameran memantulkan siluet pengunjung yang hilir mudik Guru, pelajar berseragam, ibu-ibu yang baru saja selesai berbelanja sampai para pedagang menyempatkan diri singgah sebentar.
Mereka semua datang untuk melihat sosok “tamu” telah lama pergi sekitar 10 tahun, Gigantopithecus, Pongo, Hexaprotodon dan Megalochelys adalah fosil yang selama bertahun-tahun tersimpan di museum besar dan kini hadir kembali di kampung halaman mereka.
“Fosil Gigantopithecus ini sudah sepuluh tahun berada di Museum Sangiran dan kini sekarang waktunya pulang meski dengan proses yang panjang," terang Gatut Eko Nurcahyo, Kepala Unit Museum Situs Semedo kepada TIMES Indonesia, Selasa 25/11/2025.
Gatut berdiri di dekat fosil Gigi dari raksasa besar, gelap, dan memancarkan aura diam yang mengundang tanya. Bagi dirinya, ini bukan sekadar hanya pameran. Ini adalah pemulangan sejarah, pertemuan kembali antara Semedo dan identitasnya sendiri.
Semedo, sebuah desa kecil yang berada di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal, lereng inilah selama bertahun-tahun hanya dikenal sebagai wilayah sunyi di sela perbukitan.
Tak banyak yang menyadari bahwa di tanah yang tampak sederhana itu pernah hidup makhluk setinggi tiga meter dan seberat setengah ton. Fosil Gigantopithecus yang ditemukan di sana menjadi bukti adanya jejak kehidupan purba tidak hanya milik Sangiran atau Trinil tetapi Tegal pun punya ceritanya sendiri.

Dijelaskan Gatut di sela kegiatan bahwa Pameran Wanara Seba 2025 di Gedung Korpri alasan digelar bukan di museum tetapi di jantung keramaian Kota Slawi Kabupaten Tegal Jawa Tengah.
“Kalau semua acara hanya di museum, yang datang ya itu-itu saja, dan Kami ingin sejarah ini dirasakan semua orang, karena ini bukan cuma kebanggaan, tetapi juga identitas Kabupaten Tegal.” kata Gatut.
Keputusan itu terbukti tepat. Hari pertama pameran, ratusan pelajar berdesakan di depan etalase kaca, menatap fosil besar Gigantopithecus dan lainnya di Wanara Seba seolah melihat makhluk dari dunia lain.
Pameran Wanaraba Seba 2025 ini hasil kolaborasi Museum Semedo, DKDKT, DKKT, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tegal, Kemendikbud serta Cagar Budaya dan juga Pemkab Tegal.
bukan hanya sekadar seremonial. Tapi ia adalah undangan untuk terhubung kembali dengan masa lalu.
Di antara kerumunan, Gatut pun terus menjelaskan kepada para pengunjung bahwa Gigantopithecus bukan monster, bukan tokoh legenda, tetapi bagian dari garis evolusi kera yang masih berkerabat dengan orangutan.
Pemulangan fosil ke Semedo adalah salah satu bentuk komitmen konservasi. “Warisan lokal tidak boleh tercerabut dari akarnya,” tegasnya. Sejarah seperti fosil itu harus tinggal dekat dengan lokasi dan tempat dimana ia ditemukannya, agar masyarakat ikut merasa memiliki.
Wanara Seba 2025 hanya berlangsung empat hari. Namun bagi warga Kabupaten Tegal, pameran ini mengingatkan bahwa identitas budaya tidak hanya berasal dari legenda, tetapi juga dari fosil yang diam dalam tanah selama jutaan tahun.
Dan kini, lantaran Pameran Wanara Seba 2025 di Gedung Korpri sejak dimulai 24-27 Nopember 2025 gigitan sejarah itu kembali terasa menghubungkan masa lalu, hari ini, dan masa depan Kabupaten Tegal. (*)
| Pewarta | : Cahyo Nugroho |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |