TIMES JATENG, TEGAL – Deru air yang membawa lumpur dan material kayu menerjang kawasan wisata Guci Pancuran 13 pada Sabtu, 20 Desember 2025 lalu, menyisakan duka sekaligus pertanyaan. Banjir bandang yang datang tiba-tiba itu memunculkan dugaan kerusakan hutan di kawasan hulu Sungai Gung, lereng Gunung Slamet.
Namun dari hasil pemantauan lapangan bersama Asper/kepala BKPH Bumijawa, dan KRPH Guci justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hutan di bagian hulu masih berdiri kokoh, lebat, dan terjaga.
Perum Perhutani KPH Pekalongan Barat bergerak cepat melakukan pemantauan menyeluruh, terutama di jalur-jalur pendakian dan kawasan hutan lindung yang berada di atas Pancuran 13.
Fokus utama adalah memastikan kondisi tutupan lahan, aliran sungai, serta vegetasi yang selama ini berperan penting sebagai penyangga ekosistem kawasan wisata Guci.
Wakil Administratur KPH Pekalongan Barat, Triyono, mewakili Administratur/Kepala KPH Pekalongan Barat kepada awak media menjelaskan bahwa hasil pemantauan menunjukkan kondisi hutan di kawasan hulu Sungai Gung masih dalam keadaan baik.
“Dari hasil pemantauan kami, aliran sungai dan tutupan lahan di petak 50-A dan 50-B1 yang berjarak sekitar 300 meter di atas lokasi Pancuran 13 semuanya kondisi baik,” ungkap Triyono, Kamis (25/12/2025).
Petak 50-A dan 50-B1 merupakan kawasan peralihan antara hutan negara dan lahan milik masyarakat. Di area ini tumbuh tanaman pinus tahun tanam 1989 dengan kelas hutan lindung (HL).
Vegetasi pinus tampak tumbuh rapat dan sehat, diperkuat dengan tumbuhan bawah yang sangat lebat, sehingga kini berfungsi optimal sebagai penahan air hujan dan pengikat tanah.
Pemantauan juga dilakukan lebih ke atas, tepatnya di petak 50-C1 yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari wisata Pancuran 13 di kawasan wisata Guci Kabupaten Tegal
Di kawasan ini, tanaman pinus tahun 1991 dengan status hutan lindung tumbuh rapat berkembang padat, menciptakan lapisan vegetasi berjenjang penting menjaga keseimbangan hidrologis kawasan.
Lebih jauh lagi, di petak 50-H atau Lembah Clirangan yang berada sekitar 2,2 kilometer dari Pancuran 13, kondisi hutan terpantau baik. Tanaman pinus tahun 1997 tumbuh rapat dan subur, dengan tumbuhan bawah yang sangat lebat.
Lanskap hijau di kawasan ini menunjukkan bahwa fungsi ekologis hutan masih sangat berjalan sebagaimana mestinya.
Temuan ini sekaligus menegaskan bahwa banjir bandang yang terjadi tidak serta merta disebabkan oleh kerusakan hutan di hulu.
Faktor cuaca ekstrem dengan intensitas hujan tinggi dalam waktu singkat diduga menjadi pemicu utama, ditambah kondisi topografi pegunungan yang curam dan karakter alur sungai yang sempit.
Kesaksian para pendaki Gunung Slamet turut menguatkan hasil pemantauan tersebut. Sejumlah 11 pendaki asal Bekasi yang melakukan pendakian sejak mengaku tidak menemukan tanda-tanda kerusakan hutan selama perjalanan.
Bagi Perhutani, kondisi tersebut ini menjadi pengingat pentingnya dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan wisata dan kelestarian hutan. Kawasan Guci yang menjadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten Tegal sangat bergantung pada kesehatan ekosistem di kawasan hulu.
Hutan tetap lebat bukan hanya sekadar menjadi benteng alami dari bencana, tetapi juga sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar khususnya Kabupaten Tegal.
Oleh karena itu perlu pengawasan, pemeliharaan, dan kolaborasi dengan masyarakat menjadi kunci agar hutan Gunung Slamet tetap hijau sebagai penyangga alam semesta. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Perhutani KPH Pekalongan Barat Ungkap Kondisi Hutan di Hulu Sungai Gung
| Pewarta | : Cahyo Nugroho |
| Editor | : Deasy Mayasari |