TIMES JATENG, BLORA – Maestro tari dan seniman asal Semarang, Jawa Tengah, Yoyok Bambang Priyambodo, menegaskan bahwa Kabupaten Blora menyimpan potensi budaya yang jauh lebih luas dari sekadar kesenian yang selama ini dikenal publik.
Hal tersebut disampaikannya saat berkunjung ke Blora, Selasa (30/12/2025), dalam rangka menjadi juri dalam acara Parade Barongan se-Kabupaten Blora, 31 Desember 2025 yang bertempat di Kecamatan Ngawen, Blora.
Menurut Yoyok, Blora memang telah memiliki identitas seni yang kuat seperti tari tayub dan barongan, namun potensi kebudayaan yang bisa digali sejatinya masih sangat besar, terutama dari kehidupan sehari-hari masyarakat di tingkat kecamatan.
“Di sini sudah ada yang namanya tari tayub, sudah ada barongan, tapi sebenarnya banyak sekali yang bisa kita gali dari keseharian masyarakat yang berada di kecamatan-kecamatan di Blora,” ujar Yoyok.
Ia menjelaskan, setiap kecamatan di Blora memiliki latar sejarah, punden, serta cerita lokal yang khas. Kekayaan tersebut, menurutnya, dapat diangkat dan diolah menjadi karya seni pertunjukan, khususnya tari, yang berakar kuat pada identitas lokal.
“Masing-masing kecamatan itu kalau kita bicara sejarah mereka memiliki punden, memiliki sejarah, memiliki cerita. Dari semua itu kan bisa diangkat menjadi tarian,” jelasnya.
Yoyok juga menyoroti bahwa kreativitas seni sejatinya tidak pernah berhenti. Bahkan, aktivitas masyarakat yang tampak sederhana sekalipun dapat menjadi sumber inspirasi karya seni jika digarap dengan perspektif budaya yang tepat.
“Yang namanya kreativitas itu kan muncul terus dan banyak sekali. Seperti kehidupan masyarakat saat malam hari di Blora kan sampai saat ini belum banyak yang tergali,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yoyok turut memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan kesenian barongan Blora.
Ia menilai, dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran nilai dan bentuk pertunjukan barongan yang berpotensi mengaburkan identitas aslinya.
“Dari kacamata kami kalau kami nonton berkali-kali, banyak bergeser. Dari barongan Blora bergeser karena mengoyak tanggapan (job). Malah jadi seperti Bali, padahal Blora punya ciri sendiri,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya upaya bersama antara pelaku seni barongan dan dinas terkait untuk menjaga pakem sekaligus mengembangkan fungsi barongan sesuai kebutuhan zaman, tanpa kehilangan jati diri.
“Kami berharap teman-teman dari kesenian barongan ataupun dinas terkait, ayo bareng-bareng. Ada sisi yang mengembalikan bagaimana itu barongan, ada barongan untuk edukasi anak sekolah, dan ada barongan untuk fungsi yang lain,” ungkap Yoyok.
Menurutnya, Blora perlu memiliki konsep dan standar yang jelas terkait barongan sebagai identitas budaya daerah, baik dari sisi bentuk, cerita, maupun nilai yang dibawa.
“Paling tidak, di Blora itu harus memiliki pendirian seperti, ini loh barongan. Apakah yang panji, apakah yang Majapahit, monggo untuk ditata. Di sisi pengembangan untuk anak sekolah kan berbeda, anak sekolah yang penting suka dulu,” katanya.
Yoyok menegaskan bahwa pengembangan kesenian merupakan hal yang wajar dan perlu dilakukan. Namun demikian, pengembangan tersebut harus tetap berpijak pada pakem dan karakter budaya lokal yang telah diwariskan turun-temurun.
“Kalau kami menerima pengembangan. tetapi pengembangan itu kan tidak meninggalkan yang sudah ada (pakem). Karena Blora kan punya kultur sendiri, punya kehidupan masyarakat sendiri, punya dialek sendiri, punya gending-gending sendiri yang tidak dimiliki oleh kota atau provinsi lain,” sambungnya.
Sebagai penutup, Yoyok mengajak seluruh insan seni, khususnya pegiat barongan di Blora, untuk terus belajar dan berproses bersama demi mengembalikan kejayaan seni tradisi daerah.
“Harapan kami untuk teman-teman yang bekerja di bidang kesenian khususnya barongan, ayo belajar bareng. Belajar bersama, menggali kejayaan-kejayaan Blora yang sekian tahun menjadi juara tetap di parade kesenian Jawa Tengah dengan barongannya,” tutupnya. (*)
| Pewarta | : Ahmad Rengga Wahana Putra [MG-301] |
| Editor | : Faizal R Arief |