https://jateng.times.co.id/
Kopi TIMES

Kabar Demokrasi

Rabu, 18 September 2024 - 09:45
Kabar Demokrasi Budi Prayitno, Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara

TIMES JATENG, SEMARANG – Hari Demokrasi Internasional diperingati di seluruh dunia pada tanggal 15 September setiap tahun melalui resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2007 untuk mendorong pemerintah di seluruh dunia memperkuat dan mengonsolidasikan demokrasi. Demokrasi bagaimanapun masih dianggap sebagai sistem pemerintahan yang terbaik dibanding sistem pemerintahan komunis, sosialis ataupun otoriter.

Masih di suasana peringatan hari Demokrasi Internasional, tidak ada salahnya kita meninjau kembali demokrasi kita hari ini. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat, apakah demokrasi kita berada dalam kondisi terbaiknya?

Membaca laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Democracy Index : The Age of Conflict (2023), Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di peringkat 56 dari 167 negara dengan skor 6,53 atau mengalami penurunan dua poin dibanding tahun sebelumnya. Apabila kita rerata indeks demokrasi sepanjang 14 tahun terakhir dari tahun 2010 hingga 2023, maka skor indeks demokrasi kita ada di angka 6,59. Skor ini menempatkan demokrasi Indonesia dalam kategori Flawed Democracy atau Demokrasi Cacat.

Temuan senada terkait kondisi demokrasi Indonesia juga dikeluarkan oleh Fredoom House yang mencatat bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran secara substantif di beberapa variabel dan indikator. Hasilnya, Indonesia memperoleh nilai 57/100 dengan kategori bebas sebagian.

Pada variabel pluralisme dan pemilihan umum dengan indikator hak politik, dan kesempatan elektoral, Freedom House mencatat, keterwakilan perempuan dalam politik elektoral hingga Desember 2023 hanya sebesar 21,6 persen kursi di DPR. Demikian juga dengan etnis Tionghoa yang kurang terwakili dalam politik. 

Temuan lain terkait aspek ini adalah diskriminasi berupa kekerasan, intimidasi, pembatasan akses kartu identitas, akta kelahiran, dan keperluan administratif lainnya terhadap kelompok minoritas agama, seperti komunitas penghayat kepercayaan, ahmadiyah dan syiah.

Pada variabel pemerintahan, korupsi masih menjadi masalah endemik di ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, baik pemerintah pusat atau daerah. Terjeratnya beberapa menteri, aparatur sipil negara, polisi, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR/DPRD, hakim agung, bahkan ketua KPK memperkuat temuan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan revisi UU KPK yang dianggap melemahkan KPK, serta revisi UU Cipta Kerja yang memantik reaksi buruh, aktivis masyarakat sipil dan pegiat pro demokrasi.

Pada variabel kebebasan sipil dan berkeyakinan, pemerintah pusat dan daerah masih gagal melindungi kaum minoritas agama dan menunjukkan bias dalam penanganannya. Sinyalemen kegagalan ini muncul dengan banyaknya konflik pelaksanaan ibadah antara pemeluk agama minoritas dengan mayoritas, termasuk juga konflik pembangunan rumah ibadah baru.

Setara Institue mencatat ada sekitar 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang tahun 2023. (Setara Institue, Juni 2024). Ancaman terhadap kebebasan sipil masih akan terjadi dengan disahkannya revisi UU ITE, tekanan terhadap kampus untuk meredam protes mahasiswa, serta ancaman dan peretasan terhadap pegiat demokrasi.

Skor paling jeblok terkait variabel indeks demokrasi adalah pada aspek hukum. Banyaknya korupsi, pungutan liar, dan penabrakan aturan hukum demi kepentingan penguasa menjadi catatan utama yang diberikan Freedom House.

Kerusakan Demokrasi

Mencermati demokrasi Indonesia hari ini adalah mencermati kegundahan banyak kalangan. Sepuluh tahun dibawah Jokowi dan di akhir masa pemerintahannya, demokrasi Indonesia benar-benar babak belur dan rusak berat. Banyak sekali instrumen demokrasi yang kemudian dibajak.

Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam ”How Democracie Die” (2018), sudah mengingatkan pada episode pembuka bukunya. Menurutnya, matinya demokrasi tidak perlu melalui kudeta, moncong senjata dan parade tank, tetapi lewat jalan pemilu dibawah konstitusi dan lembaga berlabel demokratis, rakyat yang memberikan suaranya di kotak pemilu, tetapi tanpa mereka sadari, pemimpin terpilih membajak demokrasi yang sudah membawanya ke puncak kekuasaan.

Upaya pelemahan terhadap demokrasi bisa kita lihat dengan menganalisis apa yang terjadi pada suprastruktur dan infrastruktur politik di Indonesia akhir-akhir ini. Pada suprastruktur politik, putusan Mahkamah Konstitusi pada saat dibawah kepemimpinan Anwar Usman yang memutus perkara 90/PUU-XXI/2023 yang kemudian membuka jalan bagi keponakannya yang masih menjabat sebagai Walikota Solo untuk maju menjadi Cawapres dalam kontestasi Pilpres 2024. Belakangan, Ketua MK Anwar Usman disanksi etik karena dianggap memiliki  konflik kepentingan dalam penanganan perkara tersebut. 

Sinyalemen serupa juga dilakukan dengan melakukan uji materi terhadap masalah usia calon Kepala Daerah melalui Mahkamah Agung agar Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangerang dapat mengikuti kontestasi. Upaya membajak demokrasi juga dilakukan dengan membangun koalisi permanen dalam Pilkada untuk mengunci mereka yang tidak menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan skenario memunculkan kotak kosong. Upaya ini akhirnya gagal setelah keluar putusan dari Mahkamah Konstitusi No.60 dan 70/PUU-XXII/2024.

Meski demikian, di tingkat DPR, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat masih coba disiasati dengan revisi kilat UU Pilkada yang jauh berbeda substansinya dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Manuver di tingkat DPR ini terhenti setelah berbagai aksi demontrasi mahasiswa di sejumlah wilayah dan tidak kuorumnya jumlah anggota DPR.

Ketiadaan mekanisme check and balances di DPR yang menjadi prasyarat demokrasi untuk mengontrol pemerintah tak lepas dari dinamika politik yang berkembang selama sepuluh tahun terakhir. Pemerintahan Jokowi memboyong hampir semua dukungan dari partai politik. Apapun keputusan dan kebijakan politik yang diambilnya akhirnya diamini tanpa syarat (reserve).

Tidak adanya penyeimbang kekuatan di DPR ini pada akhirnya menjadikan upaya untuk membajak hukum dan perangkat demokrasi menjadi lebih mudah. Sehingga apa yang dilakukan seolah legal secara demokrasi tapi menghilangkan substansi demokrasi itu sendiri. Di dalam ilmu politik, praktek ini kita kenal dengan sebutan legalisme otokratik.

Praktek-praktek yang dilakukan terhadap suprastruktur politik itu menunjukkan bagaimana demokrasi dimaknai secara banal. Sementara itu, bagaimana dengan infratruktur politik Indonesia hari ini. Dalam sistem politik, infrastruktur politik terdiri dari partai politik, tokoh politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan media massa. 

Partai politik di Indonesia dalam derajat pelembagaan politiknya tidak ada satu pun yang memenuhi syarat sudah terlembaga dengan baik. Sebagai institusi demokrasi, partai politik justru gagal menjalankan peran dan fungsinya. Parpol lebih banyak bermain di ranah pragmatis dan terkooptasi oleh kepentingan penguasa.

Kelompok kepentingan pun setali tiga uang. Dua organisasi massa keagamaan terbesar yang harusnya memberikan masukan dan kontrol kepada pemerintah justru mulai menjauh dari peran dan fungsinya dan baru-baru ini lebih memilih orientasi barunya untuk masuk dalam bisnis tambang.

Menyelamatkan Demokrasi

Satu-satunya harapan yang bisa disematkan untuk memperbaiki kondisi demokrasi yang sudah terlanjur babak belur saat ini hanya bertumpu pada kalangan intelektual, tokoh politik, gerakan masyarakat sipil, serikat buruh dan gerakan mahasiswa.

Meski kita ketahui dalam beberapa tahun terakhir, gerakan masyarakat sipil kita terpinggirkan. Namun munculnya simpul aksi gerakan masyarakat sipil, gerakan mahasiswa, gerakan buruh, dan kalangan intelektual yang memberikan tekanan kepada penguasa dan elite politik untuk tidak sembarangan menggunakan kekuasaan pasca putusan Mahkamah konstitusi No. 60 dan 70, membawa asa baru bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki penjaga. 

Aksi-aksi massa, khususnya gerakan mahasiswa (yang sempat mati suri) yang menyuarakan kepentingan publik dan tidak ditunggangi kepentingan politik menjadi satu-satunya pengingat bahwa ada kuasa rakyat yang sewaktu-waktu bisa menarik mandat kepada penguasa.

Hal yang tidak boleh dilupakan untuk terus merawat demokrasi dan menjaga nalar kritis kita dalam berbangsa dan bernegara tentu ada pada media massa. Media massa dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus menjadi garda terdepan penjaga demokrasi karena pada dirinyalah pilar keempat demokrasi dilekatkan.

***

*) Oleh : Budi Prayitno, Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.