https://jateng.times.co.id/
Kopi TIMES

Pejabat Publik, Legacy, dan Budaya Menulis Buku

Selasa, 17 Desember 2024 - 10:26
Pejabat Publik, Legacy, dan Budaya Menulis Buku Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia, dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional

TIMES JATENG, BLORA – Di tengah kemajuan zaman seperti saat ini ada banyak sekali pilihan profesi. Bahkan tidak sedikit profesi baru yang bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi digital. Namun menjadi pejabat publik, tetap menjadi salah satu pilihan yang banyak diincar. 

Hal itu tidak mengherankan, karena selain jabatan publik memiliki prestise tersendiri di tengah masyarakat, seiring dengan menjadi pejabat publik, secara otomatis juga melekat kewenangan yang tidak bisa dimiliki oleh profesi lain. 

Di samping itu menjadi pejabat publik ada sisi nilai pengabdiannya. Selanjutnya, tentu gaji dan tunjangan secara materi juga cukup besar. Dengan benefit yang cukup menjanjikan itu, bisa dimaklumi jika kemudian banyak kalangan artis papan atas, juga pengusaha dan profesional yang sudah sangat sukses, ikut tergiur terjun ke dunia politik demi mendapatkan posisi sebagai pejabat publik.

Jika mengacu ke Undang-Undang No 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 58, yang termasuk sebagai pejabat publik atau pejabat negara, mencakup semua pejabat baik di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Diantaranya: 

Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota MPR; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPD; Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc. 

Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Yudisial; Ketua dan Wakil Ketua KPK; menteri dan jabatan setingkat menteri.

Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Pejabat publik dengan kewenangan yang sangat strategis di pemerintahan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, memiliki tanggung jawab besar atas kinerjanya-tidak hanya kepada pimpinan secara struktur organisasi, namun yang paling utama adalah tanggung jawabnya kepada publik atas jabatan yang diemban. Karena pada dasarnya yang memberikan jabatan itu adalah rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Selain itu yang menggaji mereka juga rakyat dari pajak yang dipungut oleh negara. Layaknya sebuah tugas yang harus ditanggung dan dijawab setiap permasalahannya. Demikianlah seharusnya tugas yang diemban oleh pejabat publik kepada rakyatnya.

Masa Jabatan dan Legacy

Seperti peribahasa, “gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan nama.” Sudah menjadi budaya luhur bangsa ini, selalu ingin meninggalkan sesuatu yang baik ketika telah meninggal. Sebagaimana gajah meninggalkan sesuatu yang paling berharga dari organ tubuhnya ketika mati, yaitu gading.

Namun ini bukan soal ketika telah meninggal dunia. Melainkan setiap pejabat publik mereka terbatas masa jabatannya. Pejabat eksekutif, meski hingga dua periode kepemimpinan, misalkan seperti presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota, masa jabatannya hanya sampai 10 tahun. Kalau satu periode, hanya 5 tahun. Waktu yang tidak terlalu panjang untuk sebuah jabatan dengan tanggung jawab yang besar dan berat.

Di sinilah menjadi penting setiap estafet tampuk kepemimpinan pejabat publik, ada keberlanjutan kinerja dan program yang telah dikerjakan oleh pejabat sebelumnya. Jadi ada kontinuitas dan kesinambungan (sustainable) dalam target kerja. Alih-alih menghapus semua program dengan program baru untuk mendapatkan nama. 

Justru kepentingan memberikan pelayanan yang terbaik dan berkesinambungan bagi masyarakat adalah hal utama. Kalaupun pejabat pengganti yang baru mau membuat gebrakan, setidaknya perlu menimbang terlebih dahulu mana kesuksesan pejabat lama yang harus dilanjutkan, di mana letak yang kurang harus dibenahi, dan apa yang belum ada dijadikan sebagai terobosan baru di kepemimpinannya.

Di sinilah pentingnya legacy bagi seorang pejabat publik yang tidak hanya diwujudkan dalam bentuk kinerja dan karya. Namun juga perlu ditulis dan bukukan untuk bisa dijadikan sebagai rekaman atas setiap prestasi yang diukir di masa memegang tampuk jabatannya. Dengan demikian, saat estafet kepemimpinan itu harus dilakukan, para penggantinya bisa membaca dan menelaah semua yang telah dikerjakan.

Apa yang belum tuntas karena batas masa jabatan, bisa dituntaskan. Setiap pertimbangan di balik mengeluarkan kebijakan-kebijakan, juga bisa dijadikan sebagai pedoman dan pembelajaran. Tidak sebatas untuk para pejabat baru yang menggantikan. Tapi juga bisa bermanfaat dalam jangka panjang untuk generasi selanjutnya.

Budaya Menulis Buku

Hingga saat ini, menulis buku bagi para pejabat publik di Indonesia bisa dikatakan masih belum menjadi budaya. Dari 552 kepala daerah yang ada, terdiri dari gubernur, bupati, dan walikota, mungkin tiap periode tidak lebih dari 10 persen yang menulis buku. 

Di jajaran menteri sebagai pembantu presiden pun di kabinet, juga tidak banyak yang membukukan tentang kinerjanya. Terlebih bagi para pejabat publik di legislatif dan yudikatif, masih jarang sekali yang menulis buku. Kalaupun ada ibarat hanya dalam hitungan jari.

Di tengarai, itu terjadi memang karena menulis buku belum menjadi budaya bagi pejabat publik. Yang ditunjang juga karena belum adanya kesadaran tentang pentingnya membuat buku. Atau dipicu faktor lain dengan keberadaan media digital saat ini yang bisa dengan mudah menjadi corong informasi atas kinerjanya sebagai pejabat publik ke khalayak.

Namun tentu saja, publikasi media tidak cukup untuk menggantikan sebuah buku bagi pejabat publik untuk menuliskan tentang pertanggungjawaban kinerjanya. Atau menuangkan gagasan-gagasannya. Karena menulis buku bagi pejabat publik, memiliki banyak keunggulan dan manfaat. Baik bagi pejabat publik pribadi, maupun bagi publik.

Jika diuraikan, beberapa keunggulan dan manfaat itu diantaranya; Pertama, bagi seorang pejabat publik memang banyak media atau channel untuk bisa menuangkan gagasan atau menyampaikan hasil kinerja yang telah dilakukan. Seperti menjadi pembicara di berbagai forum, liputan media, dan bahkan juga bisa menuliskannya menjadi opini di berbagai media. 

Namun ruang itu sejatinya sangat terbatas dan sulit untuk menyampaikan secara utuh. Melalui bukulah gagasan dan laporan kinerja bisa terhimpun secara komprehensif, sehingga pemahaman orang atas gagasan dan laporan bisa dipahami dengan utuh bagi pembacanya.

Kedua, buku memiliki jangka panjang masa bacanya. Tidak terbatas waktu seperti pemberitaan di media. Bahkan sering dikatakan, buku tak lekang oleh waktu dan bisa melintasi berbagai zaman. Jadi dengan membuat buku, manfaatnya bukan dalam jangka pendek untuk pembaca saat ini. 

Sebatas untuk pertanggungjawaban kepada publik dan acuan bagi pejabat yang meneruskan. Sehingga bisa menjadi seperti yang dikatakan oleh Joseph Addison, seorang politikus dan penyair dari Inggris, “buku adalah warisan genius yang hebat bagi manusia, yang diturunkan dari generasi ke generasi, sebagai hadiah kepada anak cucu yang belum lahir."

Ketiga, di tengah bangsa ini dalam darurat literasi, sebagaimana data Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia berada pada peringkat 10 terbawah dalam kategori literasi membaca. 

Berdasarkan data UNESCO 2023, minat baca masyarakat Indonesia tercatat hanya 0,001%. Yang itu berarti dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Dengan para pejabat publik membudayakan menulis buku, bisa menjadi pemantik masyarakat untuk menggairahkan minat baca dengan berbagai event diskusi buku dan launching bukunya.

Keempat, buku yang ditulis oleh para pejabat publik juga bisa menjadi sumbangsih bagi kajian para akademisi di dunia pendidikan mengenai bidang dan topik yang dibahas. Dengan demikian, akan terjadi koneksi antara dunia akademisi yang memiliki keunggulan khasanah metodologi dan teorinya, di tengah implementasi dunia praktisi oleh para jabat publik di lapangan. Jadi menghapus gap antara dunia akademisi dan praktisi yang masih banyak terjadi di berbagai bidang.

Kelima, tidak dipungkiri, di antara banyaknya pejabat publik membuat buku, juga diwarnai motif pembentukan personal branding di tengah masyarakat dengan tujuan politis. Apa pun itu yang menjadi motivasi hingga pejabat publik membuat sebuah buku, sejatinya ada sebuah langkah maju dalam membangun budaya positif bangsa ini. Karena sebagaimana kata sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, bahwa, menulis adalah bekerja untuk keabadian. 

***

*) Oleh : Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia, dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.