TIMES JATENG, SEMARANG – Baru-baru ini, publik internasional dikejutkan kabar runtuhnya rezim otoriter Bashar al-Assad. Kelompok oposisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS) yang dipimpin Abu Mohammed Al Julani dikabarkan sukses mengambil alih ibu kota Damaskus. Presiden Bashar al-Assad dan keluarganya pun kabur mencari suaka ke Rusia.
Setelah 13 tahun dilanda perang saudara dan lebih dari 50 tahun di bawah pemerintahan brutal keluarga Assad, Suriah kini menawarkan harapan baru bagi rakyatnya. Kejatuhan Assad pada akhirnya juga membuat jutaan pengungsi bisa pulang dari kamp-kamp di Turki, Lebanon, dan Yordania. (VOA Indonesia, 10/12/2024).
Sebagian besar rakyat tumpah ruah turun ke jalan dan bersuka cita. Mereka bergembira, bahwa perang yang menewaskan ratusan ribu orang, penyebab krisis kemanusiaan, kota-kota yang luluh lantak terkena bom serta krisis ekonomi dahsyat kini telah berakhir.
Di luar negeri, sejumlah kedutaan besar Suriah bahkan merayakan kemenangan kelompok anti pemerintah ini dengan mengibarkan bendera berlambang tiga bintang warna merah khas bendera pasukan pemberontak.
Perayaan ini pun bergema di Jerman, Turki, dan Yunani, di mana ribuan orang bersorak. Di Indonesia, Kedutaan Besar Suriah di Jakarta juga mengganti bendera di laman Facebooknya dengan bendera tiga bintang. (Tempo, 10/12/2024).
Optimisme Era Baru Suriah
Terdapat optimisme dan harapan Suriah menjadi lebih baik dari jutaan rakyat. Profesor psikologi Amerika Serikat (AS) Suzanne Segerstrom dalam Optimism is Associated with Mood, Coping, and Immune Change in Response to Stress yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology (1998) menjabarkan, optimisme sebagai cara berpikir positif dan realistis dalam memandang masalah.
Dan barang tentu, politik yang dinamis amat mungkin membuat segalanya terjadi. Semangat optimisme yang mestinya jadi peluru utama, tak sedikit pula figur publik yang terkesan lebih memanfaatkan sisi sebaliknya.
Untuk mewujudkan era baru Suriah, kini, milisi pemberontak Suriah menunjuk mantan Perdana Menteri Mohammed Ghazi Al Jalali sebagai pemimpin sementara Suriah.
Surat Kabar Hurriyet juga melaporkan, pemerintahan baru itu akan mengumumkan peta jalan setelah proses peralihan, yang meliputi pelaksanaan sensus, membuat konstitusi baru dan mengadakan pemilu bebas.
Tantangan Berat
Namun penulis melihat, ada dua kemungkinan yang mungkin perlu dituntaskan oleh pemerintahan transisi. Pertama, gejolak politik dalam negeri.
Hal ini berkaitan dengan perebutan kekuasaan antar faksi atau kelompok oposisi.
Runtuhnya rezim Al Assad juga tak lepas dari "perjuangan" kelompok Hayat Tahrir Al Sham (HTS) itu sendiri, Tentara Nasional Suriah (SNA) dan juga Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Masing-masing mengklaim telah menumbangkan rezim.
Hayat Tahrir Al Sham (HTS) sendiri pun punya problem tersendiri. Kendati bertahun-tahun membangun citranya, menjauhkan diri dari akar al Qaeda tapi PBB dan juga Amerika Serikat masih saja mencap kelompok itu sebagai teroris sejak 2013 (Tempo, 9/12/2024).
Sedangkan kelompok Tentara Nasional Suriah (SNA), selain menyatakan perang dengan rezim Al Assad juga tak sejalan dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Fakta itu diperparah adanya Turki yang mempunyai sentimen negatif terhadap SDF dan menganggapnya sebagai organisasi teroris.
Kedua, perilaku Israel di pentas geopolitik Timur Tengah, yang dalam hal ini Suriah. Kilas sejarah yang perlu diingat, bahwa Israel tercatat pernah menduduki sebagian besar Dataran Tinggi Golan pada tahun 1967 dan mencaplok wilayah tersebut secara ilegal pada tahun 1981. Kini, negara Zionis tersebut nampak memanfaatkan situasi transisi politik Suriah.
Mengutip Tempo (10/12/2024), Israel mulai menyerang Suriah setelah oposisi bersenjata di negara itu menggulingkan pemerintahan Assad. Pasukannya bahkan terus masuk ke dalam wilayah Suriah, dan menduduki tanah yang dekat Dataran Tinggi Golan. Sementara pasukan udaranya terus menjatuhkan bom ke seluruh negeri.
Oleh karenanya, Kompas (10/12/2024) menyebut Israel telah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sementara, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa ia memerintahkan pasukan Israel untuk merebut zona penyangga, yang ditetapkan dalam gencatan senjata tahun 1974 dengan Suriah.
Padahal, PBB lewat juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric, telah mengecam bahwa perampasan tanah yang dilakukan Israel merupakan "pelanggaran" terhadap perjanjian pelepasan antara Israel dan Suriah pada tahun 1974. Namun lagi-lagi Israel tak pernah menghiraukan apapun dari PBB.
Rakyat Suriah sejatinya sedang menghadapi dilema yang tak terkira. Di satu sisi, ada secercah harapan untuk mewujudkan pemerintahan baru yang berdampak pada terciptanya stabilitas sosio-politik maupun ekonomi. Tapi di sisi lain, beragam kemungkinan problem baik dalam dan luar negeri akan selalu menghantuinya.
Ini adalah masa dimana rakyat Suriah sedang mengarungi jalan berliku, dan meski tak menentu. Namun langkah rumit serumit apapun harus tetap dilalui untuk mewujudkan era baru Suriah.
***
*) Oleh : Didik T. Atmaja, Mahasiswa Politik Internasional Magister Ilmu Politik (MIP) Universitas Wahid Hasyim Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |