Kopi TIMES

“Jalan Lain” Menyederhanakan Partai Politik 

Rabu, 12 Agustus 2020 - 20:04
“Jalan Lain” Menyederhanakan Partai Politik  Zamaahsari A. Ramzah, alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Anggota KPU Kabupaten Purbalingga.

TIMES JATENG, PURBALINGGA – DPR sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. RUU inisiatif DPR dengan 741 pasal itu mengatur banyak hal. Mulai desain pemilu nasional dan pemilu lokal, sistem pemilu, alokasi kursi partai politik (district magnitude) setiap daerah pemilihan (dapil), metode konversi suara ke kursi, hingga ambang batas presiden (presidential threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Dari beberapa ketentuan tersebut, sorotan publik tertuju pada Pasal 217 mengenai kenaikan parliamentary threshold (PT) dari 4% menjadi 7%. Ada yang mendukung dan banyak pula yang menolak. Di internal partai juga terbelah, Golkar dan Nasdem mendukung PT 7%; PDIP, PKB dan PKS menawarkan 5%; PD, PAN dan PPP menginginkan PT tetap 4% seperti pemilu 2019; sedangkan partai-partai kecil dan partai baru berharap PT 0%. 

PT adalah syarat minimal suara sah yang harus diperoleh parpol secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Jika suara parpol tidak mencapai jumlah minimal yang disyaratkan, secara otomatis tidak mendapatkan jatah kursi di parlemen meskipun parpol tersebut memperoleh kursi di beberapa dapil. 

Kurang Efektif

Desain penyederhanaan parpol telah dilakukan sejak pemilu 1999. Saat itu metode yang digunakan electoral threshold (ET) sebesar 2% dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. ET adalah ambang batas minimal yang harus diperoleh setiap partai untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya. Ketentuan ET diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.

Dari 48 parpol peserta pemilu 1999, hanya 6 parpol yang lolos ET, yakni PDIP 153 kursi, Golkar 120 kursi, PPP 58 kursi, PKB 51 kursi, PAN 34 kursi dan PBB 13 kursi. Akan tetapi masih terdapat 15 parpol di luar 6 parpol tersebut yang punya kursi di DPR.  Hal ini dikarenakan ET hanya mengatur ketentuan bagi parpol yang berhak ikut pemilu berikutnya, maka setiap partai politik yang memperoleh kursi bisa melanggeng ke Senayan meskipun hanya 1 (satu) kursi. Sehingga total ada 21 partai politik yang punya kursi di DPR. 

Pada pemilu 2004 ET naik menjadi 3% dari jumlah kursi DPR atau 4% dari jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Dari 24 parpol perserta pemilu 2004, terdapat 16 parpol yang memiliki wakil (kursi) di parlemen. 

Ke-16 parpol tersebut, yakni Golkar 127 kursi, PDIP 109 kursi, PPP 58 kursi, PD 55 kursi, PAN 53 kursi, PKB 52 kursi, PKS 45 kursi, PBR 14 kursi, PDS 13 kursi, PBB 11 kursi, PPDK 4 kursi, Partai Pelopor 3 kursi, PKPB 2 kursi, dan PKPI, PNI Marhaenisme dan PPDI masing-masing 1 kursi (Aris Ananta, Evi Nurvidya & Arifin Leo Suryadinata, 2005; 22). 

Ambang batas parlemen (PT) baru diterapkan pada pemilu 2009 dengan besaran 2,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dari 38 parpol peserta pemilu 2009 hanya 9 parpol yang lolos PT. Ke-9 parpol tersebut, PD 20,85% atau 150 kursi, Golkar 14,45% atau 107 kursi, PDIP 14,03% atau 95 kursi, PKS 7,88% atau 57 kursi, PAN 6,01% atau 43 kursi, PPP 5,32% atau 37 kursi, PKB 4,49% atau 27 kursi, Gerindra 4,46% atau 26 kursi dan Hanura 3,77% atau 18 kursi. 

PT naik menjadi 3,5% pada pemilu 2014. Parpol bukannya berkurang malah naik menjadi 10 partai dari 12 partai peserta pemilu 2014 yang lolos PT, yakni PDIP 18,95% atau 109 kursi, Golkar 14,75% atau 91 kursi, Gerindra 11,81% atau 73 kursi, PD 10,19% atau 61 kursi, PKB 9,04% atau 47 kursi, PAN 7,59% atau 49 kursi, PKS 6,76% atau 40 kursi, Nasdem 6,72% atau 35 kursi, PPP 6,53% atau 39 kursi, Hanura 5,26% atau 16 kursi.

Pada pemilu 2019 PT naik lagi menjadi 4%. 9 parpol lolos PT dari 16 parpol peserta pemilu. Yakni, PDIP 19,33% atau 128 kursi, Gerindra 12,57% atau 78 kursi, Golkar 12,31% atau 85 kursi, PKB 9,69% atau 58 kursi, Nasdem 9,05% atau 59 kursi, PKS 8,21% atau 50 kursi, PD 7,77% atau 54 kursi, PAN 6,84% atau 44 kursi dan PPP 4,54% atau 19 kursi. 

“Jalan Lain”

Belajar dari pengalaman tiga kali pemilu di atas pemberlakuan PT tidak cukup efektif mewujudkan multi partai sederhana. Karena itu, sudah saatnya pembuat kebijakan (pemerintah dan DPR) dalam pembahasan RUU Pemilu mempertimbangkan “jalan lain” yang lebih efektif selain menaikkan PT 7%. 

Pertama, memperkecil alokasi kursi (district magnitude) di setiap daerah pemilihan (dapil). Dari semula 3-10 kursi setiap dapil di tingkat DPR menjadi 3-6 kursi. Begitu juga di tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari 3-12 kursi menjadi 3-6 kursi. 
District magnitude yang kecil akan menjadi ujian sesungguhnya apakah parpol punya basis pemilih di akar rumput (grass root) atau tidak. Parpol yang punya basis pemilih di grass roots akan terus exist (selamat) dan sebaliknya parpol yang tidak punya akar kuat di grass roots akan terlempar dari “gelanggang”. 

Memperkecil district magnitude dapat mendorong parpol bekerja maksimal untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Serta mendorong parpol melakukan proses rekruitmen yang ketat, matang dan berkualitas demi menghadirkan kader-kader ideologis, visioner dan memiliki kompetesi tinggi sebagai pemimpin, baik di eksekutif maupun di legislatif.

Selain itu, memperkecil district magnitude dapat mendekatkan pemilih dengan para wakilnya dan sebaliknya karena secara otomatis daerah (baik provinsi, kabupaten/kota atau gabungan kabuaten/kota) yang menjadi bagian dapil akan lebih kecil. Misalnya di Jawa dimana setiap dapil terdiri dari 1 sampai 5 kabupaten/kota derajat keterwakilannya sangat besar. Apalagi di luar Jawa, seperti Aceh dimana satu dapil terdiri 15 kabupaten/kota, Sulteng terdiri 17 kabupaten/kota, Sumut 19 kabupaten/kota, dan Papua 29 kabupaten/kota. 

Begitu juga dalam konteks nilai kesetaraan antara dapil di Jawa dan luar Jawa terjadi disparitas ekstrim. Pada Pemilu 2019, di Kepulauan Babel, NTB, Kaltara, Gorontalo, Malut, Papua Barat, Maluku, Bengkulu, Kepri, Sulbar, Kalbar II, dan Kalsel II alokasi kursi per dapil antara 3 sampai 5 kursi. Sedangkan di Lampung, Jatim, Jabar, Jateng, Banten, DKI, Sumut, Sumsel, Sulsel dan Jambi alokasi kursi antara 8 sampai 10 kursi. Mempekecil district magnitude dapat menyetarakan antara dapil di Jawa dan di luar Jawa.

Kedua, konversi suara ke kursi menggunakan metode divisor D’Hondt. Sejak pemilu 1999 sampai 2019, ada dua metode penghitungan suara yang telah diterapkan, yakni kuota Hare dan divisor Sainte Lague. Kuota Hare atau Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) digunakan pada pemilu 1999 sampai pemilu 2014. Kuota Hare juga digunakan pada pemilu pertama tahun 1955 dan enam kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997) di masa Orde Baru. Sedangkan divisor Sainte Lague baru digunakan pada pemilu 2019 lalu. 

Divisor D’Hondt merupakan rerata tertinggi (highest average methode) untuk mengalokasikan kursi di suatu dapil. Teknis menghitungnya sangat sederhana persis seperti metode Sainte Lague. Bedanya hanya pada bilangan pembagi. Jika Sainte Lague bilangan pembaginya ganjil 1, 3, 5, 7, 9 dan seterusnya. Divisor D’Hondt bilangan pembaginya urut, yakni suara sah masing-masing parpol dibagi 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya.

Jika dua metode ini diterapkan diperkirakan hanya akan meloloskan 5-6 partai politik di Senayan. Dengan 5-6 parpol di Senayan cukup ideal mewujudkan multi partai sederhana. Dari sisi indek effective numbers party parliament (ENPP) atau rumus hitung untuk melihat parpol yang punya peran signifikan di parlemen jumlahnya kurang lebih sama. Komposisi 5-6 partai di parlemen ini, oleh Ramlan Surbakti (2011), diistilahkan sebagai sistem kepartaian pluralitas moderat.

Sistem kepartaian pluralitas moderat berimplikasi pada desain dan ukuran surat suara menjadi sederhana (kecil) karena parpol dan calon legislatif lebih sedikit dibandingkan pemilu 2019. Surat suara yang lebih sederhana lebih mudah dipahami oleh pemilih dan juga lebih mudah pemilih mengontrol partai politik dan calon terpilih. 

Meskipun cukup efektif menyederhanakan partai politik, tetapi dalam sistem pemilu proporsioal yang kita anut saat ini, kedua metode (memperkecil district magnitude dan divisor D’Hondt) tersebut memiliki kelemahan, yakni tingginya tingkat disproporsionalitas dan banyaknya suara yang terbuang akibat partai politik gagal merebut suara di masing-masing dapil yang alokasi kursinya kecil.

***

*) Oleh: Zamaahsari A. Ramzah, alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Anggota KPU Kabupaten Purbalingga.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jateng just now

Welcome to TIMES Jateng

TIMES Jateng is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.