TIMES JATENG, JAWA TENGAH – Di tengah arus deras perubahan global dan tantangan domestik, Indonesia menyongsong satu momen bersejarah: Indonesia Emas 2045. Sebuah visi jangka panjang yang memimpikan Indonesia sebagai negara maju dan berdaya saing tinggi saat merayakan seratus tahun kemerdekaannya.
Namun, visi sebesar ini tidak mungkin tercapai tanpa membicarakan secara serius peran generasi muda-terutama pemuda dari provinsi-provinsi kunci seperti Jawa Tengah.
Mengapa Jawa Tengah? Karena provinsi ini bukan sekadar wilayah administratif, melainkan jantung sosial dan budaya Indonesia yang memiliki populasi muda dalam jumlah signifikan.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 38,2 juta jiwa (data 2024), sebagian besar di antaranya adalah kelompok usia produktif, pemuda Jawa Tengah menyimpan potensi besar yang dapat menggerakkan roda transformasi nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik.
Pertama-tama, mari kita lihat potensi ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, geliat kewirausahaan di kalangan anak muda Jawa Tengah patut diapresiasi. Mereka aktif membangun usaha mikro dan kecil, memanfaatkan platform digital, dan ikut dalam sektor ekonomi kreatif.
Kota-kota seperti Semarang, Solo, dan Purwokerto mulai menjadi pusat pertumbuhan startup lokal, terutama yang bergerak di bidang kuliner, fesyen, teknologi, dan pendidikan.
Tak hanya itu, pesatnya pertumbuhan akses internet dan teknologi digital-meskipun belum merata-telah menciptakan ruang baru bagi pemuda untuk berkontribusi dalam ekonomi digital. Banyak dari mereka menjadi konten kreator, pengembang aplikasi, hingga digital marketer yang menjangkau pasar nasional bahkan internasional.
Secara sosial, pemuda Jawa Tengah menunjukkan kepedulian tinggi terhadap isu-isu komunitas dan keberlanjutan. Muncul banyak komunitas pemuda yang bergerak dalam isu lingkungan, pendidikan, hingga kesehatan mental.
Gerakan sosial seperti perpustakaan desa mandiri, pendidikan untuk anak marjinal, dan pengolahan sampah berbasis komunitas menunjukkan bahwa generasi muda bukan sekadar penonton, tetapi pelaku utama perubahan sosial.
Di ranah politik, meski masih didominasi partisipasi elektoral, pemuda mulai berani menyuarakan pendapat dan terlibat dalam advokasi kebijakan publik. Meningkatnya jumlah calon legislatif muda di pemilu terakhir menjadi indikator awal bahwa generasi muda mulai percaya diri masuk ke ruang pengambilan keputusan.
Realitas yang Belum Ideal
Namun, di balik optimisme tersebut, ada sejumlah tantangan mendasar yang perlu segera direspons. Tantangan pertama adalah soal akses terhadap pendidikan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Masih banyak pemuda, khususnya di daerah pedesaan dan perbatasan, yang belum mendapatkan pendidikan vokasional atau pelatihan digital yang memadai. Sementara dunia kerja berubah sangat cepat, kurikulum pendidikan kita kerap tertinggal.
Kedua, adalah masalah pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi berada pada kelompok usia muda. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Pemuda yang telah menyelesaikan pendidikan pun tak jarang mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai keahlian.
Tantangan berikutnya adalah minimnya representasi politik yang substansial. Meski pemuda semakin aktif secara politik, ruang partisipasi yang benar-benar memberikan pengaruh terhadap kebijakan publik masih terbatas. Banyak pemuda menghadapi hambatan struktural seperti dominasi elite tua, kurangnya akses terhadap jaringan politik, dan keterbatasan kapasitas advokasi.
Selain itu, masih terdapat kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Keterbatasan infrastruktur internet dan akses terhadap perangkat digital menghambat pemuda di desa-desa untuk berkompetisi secara setara.
Ditambah lagi, isu kesehatan mental di kalangan pemuda sering kali belum mendapatkan perhatian serius. Tekanan ekonomi, sosial, dan perubahan gaya hidup akibat disrupsi teknologi telah memicu kecemasan, depresi, dan masalah psikologis lainnya.
Menatap Masa Depan
Agar potensi ini tidak berubah menjadi beban, dibutuhkan kebijakan yang berpihak pada pemuda dan menjadikan mereka sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek.
Pertama, pemerintah daerah perlu membangun ekosistem inovasi yang ramah pemuda. Ini bisa dilakukan dengan mendirikan ‘youth innovation hub’ di setiap kabupaten/kota, sebagai ruang kolaboratif antara pemuda, dunia usaha, perguruan tinggi, dan pemerintah. Program inkubasi startup lokal, pelatihan digital, serta akses pendanaan kreatif harus diperluas dan dipermudah.
Kedua, sistem pendidikan dan pelatihan vokasional harus ditransformasi secara mendalam. Kurikulum perlu diperbarui agar sejalan dengan kebutuhan industri masa depan seperti teknologi digital, energi terbarukan, dan pertanian cerdas. Pendidikan harus membuka peluang kerjasama lintas sektor dengan dunia industri dan komunitas lokal, agar lebih aplikatif dan membumi.
Ketiga, representasi politik pemuda harus ditingkatkan melalui afirmasi dan mekanisme kuota dalam forum perencanaan pembangunan, baik di tingkat desa hingga provinsi. Program pelatihan kepemimpinan, advokasi kebijakan, dan literasi politik harus diperluas oleh lembaga negara maupun organisasi masyarakat sipil.
Keempat, perlu ada strategi besar pemerataan digital. Program ‘Desa Digital’ harus dimasifkan dengan fokus pada akses internet cepat, perangkat terjangkau, dan pelatihan keterampilan dasar digital. Pemerintah daerah dan pusat perlu bekerja sama dengan sektor swasta untuk memperluas cakupan infrastruktur digital secara merata.
Terakhir, kesehatan mental pemuda harus menjadi agenda utama. Sekolah, kampus, dan komunitas pemuda perlu menjadi ekosistem peduli kesehatan mental. Pemerintah dapat mendukung melalui pelatihan guru dan tenaga pendamping, serta membangun sistem layanan konseling berbasis komunitas.
Menuju Indonesia Emas dari Jawa Tengah
Indonesia Emas 2045 bukanlah sekadar proyeksi angka makroekonomi. Ia adalah cita-cita kolektif yang menuntut investasi serius pada generasi muda hari ini. Jawa Tengah, dengan segala kekayaan kultural dan potensi manusianya, bisa menjadi teladan nasional tentang bagaimana membangun masa depan dari desa, dari komunitas, dan dari pemuda.
Kita tidak bisa lagi hanya memuji semangat muda tanpa memberi mereka ruang, dukungan, dan kepercayaan. Kita tidak bisa berharap mereka menjadi pemimpin masa depan jika hari ini mereka masih tertinggal secara pendidikan, ekonomi, dan representasi politik.
Sudah saatnya kita berpindah dari wacana ke aksi. Indonesia Emas dimulai dari sekarang, dan dimulai dari pemuda. Bila kita serius menyiapkan mereka hari ini, maka 2045 bukan hanya sekadar harapan-melainkan kenyataan yang diraih bersama.
***
*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DKW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jawa Tengah dari PKB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |